'Catatan Harian Si Boy': Satrio is the New Boy

'Catatan Harian Si Boy': Satrio is the New Boy

- detikHot
Selasa, 05 Jul 2011 15:56 WIB
Jakarta - Agaknya, dalam dua pekan terakhir, 'Catatan Harian Si Boy' (CHSB), karya perdana Putrama Tuta menjadi film yang paling dielu-elukan banyak pihak. Film berdurasi 98 menit ini diyakini akan membangkitkan kegairahan penonton untuk membeli tiket dan menyaksikan karya lokal di bioskop. Bahkan seorang wartawan senior bilang, film ini adalah film terbaik 2011 sejauh ini. Apakah ini berlebihan, atau memang demikianlah adanya?

CHSB berkisah tentang generasi 2010-an. Pada suatu dini hari, Natasha (Carissa Putri) dan Satrio (Ario Bayu) bertemu di kantor polisi untuk urusan yang berbeda. Satrio karena ngebut liar, dan Natasya karena mobil pacarnya disita paksa karena berhutang—oleh bos penjahat yang diperankan oleh Leroy Osmani, orang yang familiar dengan dunia Si Boy 1980-an.

Pacar Natasya--Niko (Paul Foster)--dan seluruh anggota geng Satrio-- terdiri dari Nina (Poppy Sovia) pemilik bengkel, Andi (Abimana Satya), Heri (Albert Halim)-- juga ada di sana. Pertemuan itu mengungkapkan sebuah hal: Nuke, bunda Natasha, sakit keras dan selalu memegang sebuah buku harian Si Boy (Onky Alexander). Natasha dan Satrio pun sepakat, dengan menghadirkan Si Boy, akan membantu kesembuhan Nuke.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalahnya, kini Boy susah ditemui. Maka, Satrio pun mengunjungi satu-dua nama yang sering disebut di buku harian itu, yakni Ina (Btari Karlinda) adik Boy, dan Emon (Didi Petet) sang sahabat dekat. Entah mengapa Andi alias Kendi, sohib kental Boy, tidak disatroni. Di satu sisi, Satrio harus berhadapan dengan Niko yang merasa hubungan asmaranya terancam.

Dari karakternya, kita bisa menebak Satrio adalah pengganti Boy, Andi mirip dengan "Kendi" yang dulu diperankan Dede Yusuf, dan Heri bergaya Emon. Tentu ada juga suasana tiga hati seperti antara Boy-Nuke-Vera, lengkap dengan bos penjahat macam yang diperankan Leroy Osmani. Ini seolah hendak menegaskan: inilah generasi Boy di era digital.

Pembedaan dua generasi ini sangat penting untuk meraup penonton dari keduanya. Misalnya, ketika ada obrolan tentang menulis buku harian ditimpali dengan pernyataan, "dapat salam dari abad ke-21", dan Twitter serta blog menjadi penggantinya. Harus ada pernyataan yang menggarisbawahi perbedaan antargenerasi itu.

Maka inilah generasi yang dugem dan minum miras sebagai gaya hidup, tapi masih menjunjung etika dan persahabatan. Tak jauh beda dengan generasi Boy, dalam satu sisi, bukan? Inilah era Satrio, Boy baru, anak orang kaya yang malu karena bapaknya koruptor, yang hobi balapan liar dan teman se-gengnya adalah rekan kerja di bengkel (yang mengingatkan kita pada seri 'Fast and Furious'). Ia juga rajin sembahyang, baik hati, walau tidak tahan untuk tidak mendekati seorang perempuan muda cantik yang sudah punya pacar.

Harus dijelaskan bahwa ini bukan remake, bukan pula sekuel. Ini kisah yang sama sekali berbeda dengan 5 film di era 1980-an. Film ini menggunakan karakter Si Boy dan catatan hariannya sebagai perekat semua karakter dan akhirnya membuat plot menjadi maju. Ini juga bukan tentang seseorang di masa sekarang yang terinspirasi oleh diari seorang tokoh, dan memperlakukan buku itu seperti kitab suci. Malah, di film ini, sosok Si Boy juga menjadi sosok misterius yang susah ditemui, karena berbagi alasan, bukan lagi menjadi pusat. Ia bukan lagi Boy yang ada dalam syair Ikang Fawzi, "Siapa tak kenal dia, Boy anak orang kaya…".

Nah, apa yang bisa didapatkan penonton generasi jadul? Mungkin beberapa cameo atau tokoh-tokoh dari masa lalu yang tampil sekilas, bisa menghibur. Setelah itu? Di sini, selain 'cing', tidak ada idiom bahasa prokem yang dicap "so last decade" seperti 'alamakjan', 'makdikipe', 'weitje', atau 'cinewine', 'tapi gak janji deh' atau 'nih yee'. Justru, kata-kata yang keluar adalah 'anjing', 'taik', 'fuck!' dan yang paling sering, 'biji'. Misalnya, "Biji lu gendut!". Saat Andi menasihati Satrio yang ingin kabur, ia bilang kalau kabur sama saja dengan buang tahi, dan kalau ada masalah bawaannya mau kabur saja, maka, "di mana-mana akan ada tahi lo, dong!"

Tentu hal-hal itu—omong kasar ke lawan bicara, bersaing merebut pacar yang sudah punya pasangan--terasa kurang "alim" bagi generasi Boy di layar perak 1980-an. Mungkin niat pembuatnya ingin memberikan kesan para karakternya lebih membumi dan lebih "manusiawi", bukan malaikat yang punya segalanya dan sama sekali tidak punya kelemahan.

Dan, justru scene yang paling saya tunggu mengecewakan: Btari Karlinda. Cara ucap dialog yang tidak natural, dan ide bahwa ia tidak kaget dan empati kepada Nuke yang sedang sakit keras adalah penyebab kekecewaan saya. Apa karena Nuke adalah salah satu saja dari banyak sekali pacar Boy, sehingga tidak menjadikannya istimewa di mata Ina? Kalau Ina tidak istimewa di mata keluarga Boy, mengapa diari Boy ada di tangannya?

Satu hal lagi: suara tidak lagi diisi Edi Pribadi (Epri). Ini faktor penting bagi generasi 80-an, karena inilah faktor utama kenangan itu, mengingat awalnya serial Si Boy adalah sandiwara radio di Prambors yang mengandalkan kekuatan audio—dan diterapkan juga di kelima filmnya. Tapi, tentu saja, bagi generasi sekarang, tidak penting pengisi suaranya. Dan, si Boy juga bukan tokoh penting yang menjadi narator utama film ini.

Dan, tidak ada penghormatan buat Wanda Tumanduk , salah satu penulisnya, yang baru saja wafat? Hmmm.

Lepas dari itu semua, saya sepakat dengan banyak pihak yang bilang, film ini menjadi harapan untuk menarik kembali kepercayaan penonton lokal untuk ke bioskop. Kita lihat adegan kebut-kebutan dan ngepot yang ciamik, di Jakarta yang sepi, yang dikemudikan oleh Sungkar Bersaudara (yang mengingatkan kita pada pada 'Catatan Si Boy' pertama). Adegan perkelahian, dan penghancuran mobil mewah (walau kurang ekstrim), serta mengendarai helikopter sunggu asyik. Humor-humornya segar serta ceritanya mengalir dan enak untuk dinikmati.

Semua departemen berjalan dengan baik, dari sinematografi hingga penyuntingan. Silakan simak adegan dialog Satryo dan Nina di kolong mobil, begitu brilian. Juga para pelakon yang berakting bagus, Ario Bayu, Carissa Putri, Poppy Sovia, Abimana Setya, Albert Halim, Tara Basro, Paul Foster. Khusus untuk Albert Halim, sepertinya ia bakal bersinar lebih terang. Walau bukan sosok utama, tapi dialah pengatur ritme film ini, persis seperti Emon.

Dengan production value yang tinggi—look dan feel-nya sangat mendekati film-film Hollywood—dan tema serta gaya yang segar dan berbeda dari karya kebanyakan, film ini bakal menjadi alternatif penting di musim liburan ini. Intinya, penonton merasakan lagi film lokal yang asyik dan hangat untuk dinikmati di gedung bioskop--sesuatu yang jarang terjadi, di samping tidak sedikit yang sudah tidak percaya lagi dengan film lokal. Dan, sebagai bonus, kita akan dituntun untuk merenung makna persahabatan dan kekeluargaan.

Jadi apakah ini film terbaik 2011? Mengutip Heri, "Menurut L?"
(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads