'Minggu Pagi di Victoria Park': Dunia Penuh Warna Buruh Migran

'Minggu Pagi di Victoria Park': Dunia Penuh Warna Buruh Migran

- detikHot
Kamis, 10 Jun 2010 15:16 WIB
Jakarta - "Orang banyak bilang kita ini pahlawan devisalah, inilah, itulah. Tapi apakah mereka tahu kondisi dan keseharian kita yang sesungguhnya?" ujar salah seorang TKW kepada Mayang (Lola Amaria) dalam film 'Minggu Pagi di Victoria Park'. Jadi, bagaimana realitas yang 'sebenarnya' soal TKW?

Di sinilah pentingnya memahami teori representasi. Film, sebagaimana produk fiksi lainnya, bukanlah cerminan atau imitasi kehidupan yang plek-plekan, tapi sesuatu yang dikonstruksi sesuai dengan tujuan sutradara, yang tidak selamanya sesuai dengan serapan penonton.

Tiga pertanyaan besar adalah realitas apa? Realitas yang mana? dan Realitas menurut siapa?. Ada begitu banyak 'realitas' yang dipilih dan dipilah berdasarkan ideologi, sudut pandang, dll--untuk dituangkan dalam bentuk cerita dan diproyeksikan di layar lebar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak seperti yang acap terdengar atau terwartakan soal TKW, di film karya Lola Amaria ini, nyaris tidak ada kisah pilu TKW yang diperkosa atau disiksa majikannya.

Malah, para tuan dan nyonya itu begitu ramah dan baik kepada pembantunya. Karena, di Hong Kong, keadaan lebih baik dari di tempat lain.  Jadi, apa realitas yang disajikan?

Sebagian dari kenyataan itu pernah ditangkap oleh Ani Ema Susanti lewat 'Mengusahakan Cinta'. Film pendek ini adalah salah satu bagian dari 'Pertaruhan', sebuah omnibus tentang perempuan produksi Kalyana Shira. Ada pasangan sejenis, dan toko tempat berkumpulnya TKW Indonesia. Pun, di film ini, juga ada.

Film produksi Pic[k]lock Production ini berfokus pada Mayang, anak pertama dari pasangan Sukardi dan Lastri yang disuruh ke Hong Kong  untuk mencari tahu keadaan adiknya, Sekar (Titi Sjuman yang bermain ciamik) yang tidak lagi mengabarkan kondisinya selama beberapa bulan.

Sebenarnya, antara Mayang dan Sekar ada hubungan 'sibling rivalry' alias permusuhan antar saudara.  Sang ayah selalu memuji Sekar yang selalu mengirim uang dari jauh, sembari merendahkan Mayang yang masih menumpang dan cuma seorang petani tebu. 

Hubungan keduanya, yang terasa sekali relasi kimiawinya, inilah plot utamanya. Dan dari sini kita mengetahui sisi-sisi lain dari kehidupan TKW. Proses pembuatan yang memakan waktu dua tahun itu juga menjadi keuntungan tersendiri dalam menyelami para TKW. Dari segi skenario,  Titien Wattimena menulis bagus dan menebus kekurangannya di 'Menebus Impian'.
 
'Realitas' lain adalah betapa banyak para TKW yang terjebak untuk berutang pada lintah darat bernama Super Kredit. Salah satunya adalah Sekar, yang luntang lantung dan kerja serabutan untuk menyambung hidup plus menyicil utang dengan cara  apapun.

Judul film yang awalnya bertajuk 'Hong Kong Rhapsody' ini terinspirasi dengan ritual para pekerja ini yang hobi berkumpul lengkap dengan dandanan dan telepon genggam layaknya anak gaul di Victoria Park tiap Minggu Pagi. Di tengah film, ada poster sayembara via sms untuk memboyong band favorit dari tanah air. Siapakah itu, hayooo?.

Film ini juga diperkuat oleh Donny Damara, Imelda Soraya, Permata Sari Harahap, dan Donny Alamsyah. Para pemain bekerja ekstra untuk berdialek Jawa Timuran, walau satu dua aktor masih terdengar seperti cengkok Jawa Tengah. Dan bintang yang paling bersinar sesungguhnya adalah Yadhi Sugandhi yang benar-benar menjadikan kota Hong Kong sebagai panggung.

Sang penata kamera itu bekerja sama dengan Art Director Rico Marpaung--berhasil menyajikan sudut-sudut kota dan memberikan identitas yang kuat.

Dan jangan bayangkan film ini seperti 'Betina' yang terkesan "art", garapan Lola sebelumnya. Film ini cukup komunikatif dan beberapa adegannya mampu mengusap tombol emosi kita. diputar di....
(iy/iy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads