Menunggangi Ombak Pergaulan di Bali

Pergaulan

Menunggangi Ombak Pergaulan di Bali

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Rabu, 23 Nov 2022 05:33 WIB
Jakarta -

Bali hari ini semakin meriah dan bersinar dari segala sisi, bukan lagi sekadar soal tradisi dan budaya, tapi juga geliat pesta. Lampu sorot bukan lagi soal betapa liarnya pesta di Pulau Dewata, melainkan pergeseran wilayahnya.

Medio 90-an sampai 2000-an, nama Kuta dan Legian seolah lantai dansa raksasa bagi para penikmat pesta. Ragam kelab dan bar memenuhi sepanjang jalan, berdampingan dengan pasir pantai. Aroma parfum yang memikat, beradu dengan wewangian dupa dan sesajen khas Bali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Grup musik Slank pada 1998 merilis lagu berjudul Poppies Lane Memory yang menggambarkan imajinasi liar kehidupan salah satu jalan paling populer di Area Legian itu. Putra daerah Bali yang tergabung dalam Superman Is Dead juga sempat menggambarkan betapa meriahnya pesta rock n roll lewat lagu-lagunya, seperti Kuta Rock City, Poppies Dog Anthem.

ADVERTISEMENT

Setelah 2010, terjadi pergeseran menuju Kawasan Seminyak dan Petitenget. Salah duanya mungkin dipicu oleh berdirinya La Favela dan Jenja yang kemudian mengubah peta pesta Pulau Dewata. Seakan tak cukup, gegap gempita bergerak lagi, mencari ruang baru, menumbuhkan candu joged sampai ke Canggu.

detikHOT mencoba untuk menggali cerita pergeseran itu. Menemui beberapa narasumber yang dianggap mampu mewakili suara dentuman drum and bass. Mereka adalah, Binar Abiyasa atau dikenal dengan nama panggung Namoy Budaya. Andre Yoga, seorang seniman asli Bali. Gilang, seorang DJ sekaligus pendiri kelompok kolektif paling tersohor PNNY. Perantau dari Jakarta, Rama (Suttasoma), turut memberikan suara dari kacamata tulisan dan rupa. Serta sosok yang dianggap sebagai Duta Pergaulan Canggu, Adi Yukey.

Kurang lebih satu minggu di Bali, tak hanya wawancara, tapi juga bermain bersama masing-masing narasumber. Mendatangi langsung sejumlah tempat yang dianggap sakral dalam konteks pergaulan. Di antara hari-hari yang diisi dengan makan, kopi dan cocktails itu, kami sampai pada satu kesimpulan benang merah, bahwa pergeseran dan perjalanan kehidupan pesta di Bali bak menunggangi ombak di sepanjang pesisir pulaunya. Apa maksudnya?

Binar Abiyasa, asli Lampung yang kemudian memutuskan pindah ke Bali pada 2016, menjalani hidup dengan beberapa unit usaha, juga selector music reggae di balik nama Namoy Budaya.

BinarBinar Abiyasa Foto: dok detikcom

"Mungkin di tahun 2016 itu lebih terfokus di daerah Seminyak sama Petitenget ya, kalau Canggu juga masih dikit banget, salah satu tempat mungkin cuman Deus yang jadi venue buat teman-teman nge-gigs. Kalau buat party, gue masih belum tahu pada tahun itu sudah ada atau nggak. Kalau sekarang, geser lagi ke area Berawa, banyak hidden bar. Lalu bergeser lagi ke Canggu. Hari ini, Canggu adalah sentral dari daerah Deus sampe ke Old Man sudah penuh. Sudah jadi tempat party satu jalan di Batu Bolong itu," papar Binar.

"Kalau Kuta dan Legian, bukannya keluar dari radar pergaulan, tapi segmen pasarnya beda. Mungkin segmen market turis dan first timer orang masuk ke Bali, yang sering ke Bali, mereka bakal eksplorasi lagi tempat-tempat party di daerah Seminyak, Petitenget, Berawa, Canggu," sambung Binar.

Mengenai segmen pasar memang ada benarnya. Ketika detikHOT menghabiskan waktu di area Canggu dan Berawa, sejumlah bar dan kelab, seperti Da Maria, Behind the Green Door, Luigi's Hot Pizza memang dihuni mayoritas oleh turis domestik dari Jakarta, Surabaya dan Bandung. Sedangkan turis asing didominasi oleh Rusia dan sedikit Australia.

Andre Yoga seorang seniman lukis yang lahir dan tumbuh besar di Bali menyadari bahwa inti pertumbuhan dan pergeseran itu berangkat dari ombak yang ditunggangi para peselancar.

Pelukis Andre Yoga asal Bali yang juga menampilkan karyanya soal kegundahan terhadap Bali serta kehidupannya.Pelukis Andre Yoga asal Bali yang juga menampilkan karyanya soal kegundahan terhadap Bali serta kehidupannya. Foto: Rachman_punyaFOTO

"Jadi, core-nya tuh emang surfing sih. Sebenarnya yang aku pikir-pikir ya kayak kenapa Canggu bisa naik, karena ada surfing-nya, ombaknya bagus, terus ada sawah-nya. Faktor di Bali kenapa suatu daerah itu jadi hype karena ada faktor surfing-nya. Kalau kita lihat kayak Uluwatu kan surfing juga, di mana ada ombak bagus, di situ ada geliat peradaban dan pertemuan. Dari Legian dulu, Kuta, Seminyak, ombaknya enak, sampai ke Canggu. Semuanya ngikutin ombaknya. Ketika ditelaah ke pergaulan ya kita harus ngikutin ombak itu aja lah, kayak oh di sini lagi main orang-orang, ya ke sana," Andre Yoga memberi penjelasan.

Sebagai seniman, Andre Yoga banyak memberikan visual penuh kolase dengan palet warna yang pop dan kontras. Idenya sendiri, berangkat konsumsi informasi baik dari buku sampai obrolan warung kopi.

"Ada aku baca buku Di Negeri Tanpa Tuhan (Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun), di situ dibahas bagaimana orang itu become religious karena ada faktor ekonomi. Semakin miskin orang, semakin pasrah dan religius. Hal-hal itu bisa jadi salah satu lukisanku."

Sehingga, menjadikan pergeseran wilayah pesta ke Canggu, secara langsung juga memengaruhi geliat profesinya sebagai seniman. Positif dan negatif muncul sebagai dampak.

Selanjutnya tentang pembangunan Canggu tak terkontrol

"Kalau kita lihat dari positifnya ya, banyak orang yang punya skill ada di situ, bule dan domestik. Muralnya keren-keren, banyak terinspirasi juga aku jadinya. Negatifnya, dari segi pembangunan yang nggak terkontrol itu sih. Emang sih kita making money di pariwisata, cuman filterisasinya orang-orang yang dateng ke sini tuh kadang nggak se-wise itu lah. Banyak orang-orang pendatang lainnya tuh nggak ngerti di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung."

"Pantai Batu Bolong, terus sekarang lagi hype tuh Pererenan, satu jalan itu kayaknya ada bisa 20-30 pembangunan dalam jangka waktu sebulan, misalnya. Lima tahun lalu tuh masih enak karena aku main ke Batu Bolong Cuma ada Deus, orang keren main ke Deus Canggu. Sisanya masih sawah, pantai."

Senada dengan Andre Yoga, Rama atau dikenal dengan nama Suttasoma, menjelaskan bahwa ombak-ombak indah yang mengelilingi pulau berukuran hampir 5.780 km/2 itulah yang menjadi alasan pergeseran budaya pergaulan dan pesta.

"Jadi, Canggu itu kalau dilihat ada budaya surf-nya sebenarnya. Surf culture-nya itu besar, ombak-ombak di Canggu itu bisa dimainkan dari yang level beginner sampai advanced. Misalnya area bar Old Man's, itu karena memang bergerak lambat seperti orang tua. Terus di sebelahnya, Batu Mejan, itu ombaknya kadang-kadang lebih besar. Kalau dilihat, bisnis-bisnis yang besar di Canggu datang dari culture itu. Dan, semuanya itu bergerak tetap di pesisir kan, tetap ada pantai kan," tutur Rama.

"Tapi, hal pertama yang perlu diketahui, sebenarnya Canggu itu kecil. Banyak orang kurang tepat, itu daerah Berawa tapi orang-orang bilangnya itu Canggu. Padahal itu beda desa gitu ya," sambungnya.

Rama Suttasoma Seniman Canggu Bali yang mulai bersuara akan keresahan pembangunan yang sangat masif di Canggu.Rama Suttasoma Seniman Canggu Bali yang mulai bersuara akan keresahan pembangunan yang sangat masif di Canggu. Foto: Rachman_punyaFOTO

Mengapa kemudian Rama punya pandangannya sendiri terkait Canggu dan pergaulannya, karena dirinya sempat membuat sebuah pameran dengan tajuk Price of Paradise. Di situ, karya-karya Rama berbicara tentang kesenjangan.

"Tema masyarakat gitu aku paling suka sih, makanya kemarin aku bikin pameran, Price of Paradise. Memamerkan sesuatu yang benar-benar dari aku dan kebetulan aku tuh pengen mengangkat topik-topik yang mungkin jarang dibahas, seperti Harga Surga Dunia itu misalnya. Price of Paradise itu menurut saya menarik banget sih. Berangkat dari kata-kata Bali tuh 'a paradise created', surga dunia yang dibangun. Semua diatur, dari zaman Belanda sampai akhirnya Indonesia merdeka. Nah hal-hal kaya gitu tuh kan ada konsekuensi ya. Keliatan banget pas kemarin ada masa pandemi, saat turisme mati memang buruk banget, kelihatan kayak udah mati suri. Terus setelah pandemi membaik, ya mulai lagi nih price-nya."

"Sesederhana kalau pesan es jeruk di warung harganya Rp5.000. Kalau beli orange juice jadi Rp35.000. Padahal ya jenisnya sama, ada di satu ruang, tapi dua harga yang berbeda, untuk dua orang dari jenis ekonomi yang berbeda, pasar yang berbeda. Pembangunan di Bali ya seperti itu, bagaimana sebuah tempat berkembang, karena mereka bisa mengubah es jeruk menjadi orange juice. Dinamikanya seperti itu."

Pandangan terhadap pergeseran wilayah pesta di Bali menuju Canggu akan dilengkapi oleh dua narasumber lainnya. Gilang 'PNNY' dan Adi Yukey menceritakan perjalanan versi mereka. Ikuti selengkapnya hanya di detikHOT.


Hide Ads