Bukan hanya soal pesta dan joget, tapi semangat komunal di Yogyakarta pun dirasakan Fransis Magastowo dalam profesinya sebagai peramu pizza di Fransis Pizza. Dalam menjalankan usahanya, entah karena campur tangan semesta atau memang Yogya yang terlalu istimewa, ada saja kolaborasi yang sengaja maupun tidak sengaja terbentuk
"Dulu warung pizza ada di sini awalnya Pak RW tidak tahu. Akhirnya mulai ramai, satu malam aku didatangi oleh Pak RW, tetangga, bawa polisi juga. Ternyata karena masalah parkiran yang panjang banget. Keren sekali penyelesaiannya, kami dipinjami lapangan kosong di belakang rumah, terus yang ngurus parkir pemuda yang di sini, kan akhirnya tujuan untuk bersama-sama membangun relasi dan filosofi pizza itu terbangun. Menyenangkan dan berjalan dengan baik seperti sekarang."
![]() |
"Keberuntungan kami tinggal di sini kayak kemarin tuh ada ojek online ngambil pesanan pizza, ternyata dia selain ojek, punya kebun di Kaliurang. Di situ dia tanam basil, arugula, macam-macam, yang aku butuh akhirnya kita Kerjasama. Ya memang begini, karena kamu dari Jakarta, buatmu ini terdengar seperti dongeng," lanjutnya seraya tersenyum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai perantau dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Tengku Fadli yang telah merintis usaha barbershop sejak 2018 itu pun tidak sedikit pun merasakan adanya pandangan sebelah mata terhadap dirinya karena bukan warga asli Yogyakarta. Semangat gotong royong menjadi yang utama dan terutama meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.
![]() |
"Gotong royong kuat banget yang aku rasain. Kayak misalkan di jalan, aku pun baru ngerasain di Yogya doang, kehabisan bensin, pasti ada yang bantuin. Jadi, akhirnya cara kita berterima kasih juga dengan baik sama orang lain lagi. Di Yogya, orang punya banyak uang, nggak punya uang, rata semua. Rendah hati dan nggak ada yang sibuk angkat dagu," tambah pemilik hair studio THXFSLTN itu.
"Mereka semua sudah bergerak dari dulu bareng-bareng. Ada yang anak asli Yogya, ada yang nggak. Tapi karena ibaratnya merintis karier mereka masing-masing sampai sekarang, kan jadinya solid," ujar desainer sekaligus pemilik lini busana Ageman, Kidung Paramadita.
![]() |
Tentu saja, judul di atas juga relevan dengan pergerakan yang dilakukan Saga dan teman-temannya di kelompok kolektif Jogja Home Coming. Sebagai kelompok yang mengambil peran melestarikan para musisi lokal, baik secara dokumentasi sampai ke kegiatan panggung, semangat komunal kental terasa.
Hubungan antara senior dan junior yang lebur. Didukung pula oleh para pengusaha tempat yang dengan mudah memberikan izin bagi mereka menggelar acara.
"Memang teman-teman di sini suka mengerjakan ini semua, jadi nggak begitu masalah ketika harus apa namanya terlihat seperti pekerjaan regular. Kami selalu coba bangun adalah jembatan antar generasinya, ada beberapa generasi yang hilang, itu coba kami jahit lagi. Misalnya kita ngobrol sama Mas Gufi (Adi Adriandi, manajer Frau, penggiat musik). Dia juga menyemangati kami untuk menjalankan JHC agar semakin ramai.
"Bergerak secara kolektif bagi kami sudah jadi kebudayaan, pertemanan itu harus dijaga bukan sekadar finansial. Saya nggak tahu di kota lain seperti apa, tapi di Yogya selalu berangkat dari pertemanan," tutup Saga mengakhiri obrolan.
(mif/nu2)