Mengenang Ajip Rosidi dan Sumbangannya pada Sastra Daerah

Mengenang Ajip Rosidi dan Sumbangannya pada Sastra Daerah

Jauh Hari Wawan S - detikHot
Kamis, 30 Jul 2020 12:42 WIB
Budayawan Ajip Rosidi
Ajip Rosidi dikenal sebagai sastrawan yang melestarikan bahasa daerah Foto: Rumah Baca Ajip Rosidi/ Istimewa
Magelang -

Dunia sastra Indonesia kembali berduka. Usai ditinggal Sapardi Djoko Damono beberapa waktu lalu, kini Ajip Rosidi berpulang.

Sastrawan yang juga suami aktris senior Nani Wijaya meninggal di Rumah Sakit Tidar Magelang pada 29 Juli 2020 pukul 22.30 WIB di usia 82 tahun.

Sepanjang hidupnya, Ajip mendedikasikan diri untuk pengembangan dunia literasi dan sastra Indonesia. Sumbangsih Ajip pada dunia sastra Indonesia terutama untuk puisi yang mengangkat nilai lokalitas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guru besar FIB Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Faruk mengamini peran Ajip pada dunia sastra Indonesia. Baginya Ajip termasuk dalam corong dunia puisi. Terutama pada corak puisi Ajip yang mengedepankan unsur kedaerahan.

"Mas Ajip tidak banyak menulis puisi. Namun, ia termasuk corong dari gerakan perpuisian yang menengok kepada lokalitas atau yang ia namakan sebagai kedaerahan," kata Faruk saat dihubungi wartawan, Kamis (30/1/2020).

ADVERTISEMENT

Ajip dikenal sebagai salah satu sastrawan yang diperhitungkan pada dekade 1950-an dengan corak puisi kedaerahan yang dia populerkan. Bersanding dengan WS Rendra, keduanya merupakan sastrawan yang diperhitungkan.

"Kecenderungan yang demikian menjadi trend sastra yang relatif dominan pada tahun 1950-an. Dan, WS Rendra, dengan baladanya, menjadi salah satu tokoh yang paling diperhitungkan. Dalam hal prosa ada Wildan Yatim. Di samping tentu saja Ajip sendiri," bebernya.

Susana Rumah Duka Sastrawan Ajip Rosidi di Magelang, Jawa TengahSusana Rumah Duka Sastrawan Ajip Rosidi di Magelang, Jawa Tengah Foto: Eko Susanto/ detikcom

Jalan hidup Ajip tak lepas dari konflik saat itu. Tahun 1963 ketika dua kubu terbelah dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Namun, Ajip menyikapinya dengan cerdas.

"Bagi saya, Ajip sangat cerdas menempatkan posisi dirinya dalam pertentangan antara kelompok sastrawan yang katakanlah individualistik seperti yang tergabung dalam Manikebu dengan kelompok Lekra yang dekat dengan komunisme," ucapnya.

"Kembali ke daerah merupakan tawaran komunalisme yang amat khas, yang bisa dianggap sebagai jalan tengah dalam pertentangan di atas," tambahnya.

Faruk menjelaskan banyak orang yang tidak memahami posisi Ajip saat dua kubu itu saling berbenturan. Menurutnya, kembalinya Ajip ke daerah asal merupakan kecenderungan Ajip yang hidup dalam lingkungan budaya Sunda.

"Bagi Mas Ajip sendiri, menurut saya, kecenderungan demikian merupakan habitus bawaannya selaku seorang yang hidup dalam lingkungan budaya Sunda, yang selalu berada di antara dua kutub, kesundaan dan keislaman (yang universal). Lebih jauh, sebagai orang Jatiwangi, Mas Ajip sangat dekat dengan budaya Cirebon, di antara Jawa dengan Sunda," terangnya.

Susana Rumah Duka Sastrawan Ajip Rosidi di Magelang, Jawa TengahSusana Rumah Duka Sastrawan Ajip Rosidi di Magelang, Jawa Tengah Foto: Eko Susanto/ detikcom

Kecenderungan itu juga yang membuat Ajip tidak fokus pada dunia kepenyairan. Dunia Ajip bisa dikatakan sebagai dunia yang terus gelisah sebagai manusia-antara, tidak hanya secara intelektual, melainkan secara kultural.

"Dia aktif sebagai kritikus sastra, penulis sejarah sastra, dokumenter sastra, organisasi dan managemen kesastraan, dan bahkan sebagai patron bagi sastra kedaerahan, tidak hanya untuk sastra berbahasa sunda, melainkan juga bahasa Jawa," urainya.

Faruk mengatakan salah satu karya monumental Ajip yaitu mendirikan Rancage. Bagi Faruk, karena menggairahkan sastra daerah yang tertidur. Baginya, tak banyak orang yang fokus terhadap kelangsungan sastra daerah. Ajip adalah pengecualian.

"Rancage sangat menggairahkan sastra daerah, Sunda, Jawa bahkan berkembang sampai Makassar. Harus ada yang meneruskan karya monumental Ajip," tuturnya.

"Orang yang menaruh perhatian ke sastra daerah sangat langka. Padahal Ajip ini sastra Indonesia. Ajip menulis sastra Indonesia, kritik sastra Indonesia tapi perhatiannya sastra daerah luar biasa," imbuhnya.

Kepergian Ajip ini kemudian meninggalkan celah dan kekhawatiran. Terutama untuk sastra daerah. Namun, Faruk berharap kepergian Ajip tidak membuat proyek Ajip untuk memajukan dunia sastra Indonesia sirna.

"Bagaimanapun minatnya yang kuat untuk merenungkan dan mengusahakan terbangunnya dialog yang produktif antara keindonesiaan dan kedaerahan serta bahkan globalitas merupakan proyek yang sama sekali jauh dari selesai. Mungkin itu pesan utama dari kehadiran Mas Ajip di antara kita semua dalam perjalanan sejarah (sastra) Indonesia ini," tutupnya.




(tia/tia)

Hide Ads