Setiap orang punya cerita yang menjadi perjalanan dan jembatan menuju versi dirinya yang lebih baik di kemudian hari. Seto Mulyadi juga punya cerita tersebut, sebelum dirinya ditasbihkan sebagai Kak Seto, sang psikolog dan pemerhati anak-anak Indonesia lebih dari 50 tahun terakhir.
Seto kecil lahir di Klaten, Jawa Tengah, memiliki saudara kembar bernama Tresno. Salah satu perbedaan paling signifikan antara keduanya, adalah warna kulit.
"Kalau dalam bahasa Jawa, kan Seto itu putih, Kresno itu hitam. Nama itu diberikan sama dokter yang bantu melahirkan karena dia nggak nyangka bakal kembar. Ya sudah, karena agak putih, saya dinamai Seto, yang satu lagi Tresno. Namanya hanya empat huruf itu aja, kemudian ditambahakan nama bapak saya, Mulyadi, jadi Seto Mulyadi," papar Kak Seto saat berbincang dengan detikHOT di rumahnya, di Kawasan Cirendeu, Jakarta Selatan.
Kak Seto mengklaim dia melewat masa kecil yang indah dan membahagiakan. Kenakalan khas anak-anak dan keistimewaan sebagai anak kembar dilewati dengan sukacita. Ayahnya seorang direktur di perusahaan perkebunan milik negara bidang tembakau. Kakeknya, mendapatkan penghargaan oleh Bung Karno, Presiden Indonesia saat itu.
"Eyang dapat penghargaan sebagai penemu bibit unggul. Jadi saya ketemu Bung Karno umur 7 tahun. Jadi, dari seluruh presiden Indonesia yang pernah ada, yang nggak panggil 'kak' cuma Bung Karno doang, karena waktu itu saya masih kecil," kenang pria kelahiran Agustus 1951 itu sembari tertawa.
Sayangnya, masa kanak-kanak yang indah itu diambil alih saat orangtuanya meninggal dunia dan perekonomian keluarga mereka merosot jauh. Seto dan Tresno dititipkan kepada keluarga di Surabaya untuk melanjutkan pendidikan.
"Kemudian sejak orangtua wafat, ekonomi jatuh, akhirnya pindah ke Surabaya. Tinggal dengan tante. Masa remaja saya di Surabaya seperti gelandangan, waktu itu sekolah saya di Surabaya termasuk jadi salah satu sekolah katolik terbaik di Indonesia. Bayarnya kira-kira yang lain Rp800, saya dan kembaran saya bisa dapat di Rp100 karena kami bilang kami tidak mampu. Masih ingat betul, waktu itu cuma dua orang yang diizinkan pakai celana pendek karena nggak mampu beli celana panjang."
Lulus SMA, Seto mengadu nasib ke Ibukota, Jakarta. Sama seperti semua orang, Jakarta adalah hutan beton tempat banyak orang menggantungkan mimpi. Lika-liku kehidupan sebagai perantau yang tidak memiliki uang adalah fase hidupnya di awal tahun 70 itu.
"Saya kan anak kembar, dan anak kembar selalu berkompetisi. Dulu saya SMA jadi ketua kelas akhirnya supaya dia bisa jadi ketua kelas, dia pindah kelas. Kelas 2 saya terpilih jadi ketua OSIS, kalau pindah sekolah ribet, jadi kita kompak, saya jadi ketua terus dia sekertaris. Setelah itu dari dulu selalu cita-cita jadi militer, polisi atau dokter. Kita nggak bisa daftar militer atau polisi karena pakai kacamata, jadi pilih dokter."
"Ujian masuk Fakultas Kedokteran UNAIR dia diterima, saya nggak. Saya down sekali, akhirnya coba ke UGM, UNDIP dan UI, semuanya gagal. Putus asa karena saya malu, saya minggat ke Jakarta. Namanya nggak punya saudara jadi deh tujuh bulan ngerasain jadi gelandangan.
(mif/nu2)