Bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tapi juga representasi culture. Bagaimana bahasa di sebuah daerah, secara tidak langsung dapat mencerminkan banyak hal dari daerah tersebut, pendidikan, ekonomi, sampai pergaulan anak muda. Itu mengapa, kemudian muncul terminologi bahasa gaul.
Mudahnya, bahasa gaul ini adalah bahasa yang dipakai on a daily basis oleh kalangan anak muda. Hadir dalam berbagai convo (re: conversation, percakapan) yang mereka lakukan, mulai dari rapat resmi sampai deep talk.
Ada beberapa perubahan yang terjadi jika bicara bahasa gaul di kota-kota besar, utamanya Jakarta. Pada medio 70-90an, bahasa gaul yang dipakai biasa disebut bahasa prokem alias bahasa preman yang kemudian dianggap sebagai bahasa gaul muda-mudi kala itu. Nanti kita akan bahas terpisah soal ini. Sekarang, bahasa gaul disebut juga bahasa Jaksel dan mostly menggunakan kosakata berbahasa Inggris.
Baca juga: Realita, Cinta dan Rocky Gerung |
Di media sosial, viral sebuah akun bernama @podcastkeselaje yang seolah-olah melakukan kurasi atas bahasa gaul atau bahasa Jaksel tersebut dalam bentuk parodi. Akun tersebut, mencoba membandingkan bahasa normal dan bahasa gaul, sesekali dianggap melakukan sarkasme.
"Comel itu namanya spill, Deg-degan itu anxiety, kalau check in bareng pasangan itu staycation. Banyak pikiran overthinking, liburan ke luar kota itu namanya healing. HTS, itu dulu Hubungan Tanpa Status kalau sekarang FWB (Friends with Benefits). Tongkrongan yang ledek-ledakan itu lingkungan yang toxic. Nggak buka handphone karena lagi detox sosmed."
"Suudzon namanya trust issue, emosi yang tidak stabil namanya bipolar atau mood swing, walaupun hasil diagnosa sendiri atau Google. Ngobrol malam-malam di atas 2 jam itu deep talk. Teleponan sama pacar tetap dinyalain walaupun pacar udah tidur, dulu namanya cuma norak atau boros pulsa, sekarang sleepy call."
Berdasarkan akun tersebut, ragam segmentasi bahasa gaul hari ini pun terbagi-bagi. Ada yang dikhususkan untuk menjelaskan soal work life, pertemanan, liburan alias healing. Ada yang khusus bicara mental issue sampai urusan asmara supaya agar saat kopdar (re: Kopi Darat, bertemu tatap muka), bisa menghadirkan positive vibes.
"Nyalahin orang dibilang gaslighting, sulit menikmati hidup namanya anhedonia sekarang, kalau dulu nggak bersyukur. Terlalu tidak mendukung negative vibes, terlalu mendukung toxic positivity. Sedikit namanya lowkey, sebenarnya itu sekarang jujurly. Pendiem atau culun, social awkward, banyak bergaul social butterfly."
"Kalau date cari tempat yang vibes-nya mood banget. Tapi, kalau langsung bayarin dibilang flexing, kalau lo minta dia yang bayar, dibilang Beta. Kalau minta split bill dibilang ignorant dan nggak peka."
Hal ini belum termasuk jenis singkatan gaul yang variasinya sudah bertambah. Jika dulu, popular EGP (Emang Gue Pikirin) atau OTW (On the Way), maka kini ada juga CMIIW (Correct Me If I'm Wrong), IMHO (In My Humble Opinion). Singkatan FOMO juga sudah lebih dulu beredar dengan kepanjangan Fear of Missing Out atau artinya takut untuk ketinggalan tren, percakapan atau hal lain terkait lifestyle.
Sekarang ada beberapa penambahan, salah satu yang paling hits, TBL alias Takut Banget Lho dan KBL, Kaget Banget Lho. TFT punya kepanjangan Thank's for Today. GTGC diartikan Gue Tahu Gue Cantik dan GTGG sama dengan Gue Tahu Gue Ganteng. Even, sekarang kata 'biasa', juga memiliki singkatan dengan pelafalan huruf 'B' atau 'B aja'.
Untuk menghindari oversharing, detikHOT menghubungi orang di balik akun @podcastkeselaje. Seorang warga Jakarta Selatan sejak lahir, bernama Oza Rangkuti. Apa pandangannya di balik bahasa gaul-so called-bahasa Jaksel ini?
"Gue hanya seorang warga Jaksel, yang membuat konten tentang bahasa Jaksel. Inilah istilah-istilah di Jaksel sekarang. Dari teman-teman tongkrongan, dari yang gue lihat di internet, dari gue sendiri, gue sebagai anak Jaksel. Sekarang kebanyakan pakai bahasa Inggris, mungkin karena makin mudah diakses, dari Netflix, dari musik. Makanya anak-anak abege-nya, malah lebih mudah mengekspresikan sesuatu dengan bahasa Inggris daripada Indonesia," jelas Oza saat dihubungi detikHOT melalui sambungan telepon.
"Zaman dulu hanya bahasanya saja yang di-translate secara harfiah. Sekarang nggak hanya translate, misalnya staycation. Nginep itu bahasa Inggrisnya staying in, tapi di Jaksel, staycation. Itu bukan translate, ada informasi bahwa di kamar hotel itu kita juga akan seperti berlibur sekalian. Gue juga nggak tahu apakah di Inggris sana juga pakai istilah ini. Makanya banyak orang sok tahu bilang bahasa Jaksel hanya sekadar translate. Eh nggak segampang itu, enak aja lo, rumit, bro," sambung Oza lagi.
Anak Jaksel 30 tahun itu kemudian turut menyimpulkan, bahwa hari ini bahasa gaul tersebut pun telah digunakan di luar wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta. Karena baginya, Jaksel itu sendiri memang tidak dibatasi oleh area geografi, melainkan mental dan sikap.
"Penggunaan bahasa Jaksel, bahasa gaul ini secara pergaulan dan lingkungan sosialnya, bukan wilayah geografis, bukan usia juga. Gue punya teman, rapper, namanya panggungnya Noise. Kalau manggung dia selalu teriak, "Jaksel itu bukan soal geografis tapi mental, bor". Jadi, Jaksel bukan soal lo tinggal di mana, tapi kelakuan dan mental lo yang bisa mengklaim lo anak Jaksel atau tidak," pungkasnya.
detikHOT akan coba menyeimbangkan pendapat Oza Rangkuti, dengan seorang ahli bahasa, which is Ivan Lanin. Kira-kira apa pandangannya? Ikuti terus hanya di detikHOT.
Lihat juga video 'Kocak! Begini Jadinya Jika Bule Terjemahkan Bahasa Gaul Jakarta':