Tak banyak data tentang sosok Sultan Agung yang ada di Indonesia. Tim di balik buku Sultan Agung dalam Goresan S Sudjojono sampai melakukan riset ke negeri Kincir Angin.
Hal tersebut diungkap oleh penyunting buku sekaligus penulis buku Sultan Agung dalam Goresan S Sudjojono, Santy Saptari.
"Tantangan utama adalah mendapatkan materi-materi buat buku. Kita cukup beruntung sebenarnya karena S Sudjojono Center dokumentasinya sangat baik. Banyak surat dan tulisan Pak Djon, kita jadi bisa mengerti prosesnya, tantangannya, dan kepribadian beliau," tutur Santy Saptari dalam peluncuran buku secara virtual, akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku setebal 138 halaman yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu memuat sejarah, latar belakang, makna, nilai, dan konteks sejarah dalam salah satu mahakarya S Sudjojono.
Lukisan berjudul Sejarah Perjuangan Sultan Agung yang dilukis pada 1974 kini menjadi koleksi dari Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.
![]() |
Santy Saptari mengatakan dokumentasi dari S Sudjojono Center tentang pemesan lukisan dari Gubernur Ali Sadikin masih ada datanya sampai sekarang. Tapi untuk peristiwa pertempuran Sultan Agung melawan Belanda, pihaknya harus mencari sampai ke Belanda.
"Tentang Sultan Agung dan peristiwa pertempuran harus mencari jauh sekali ke Belanda. Kami bersurat atau kirim email-emailan dengan yang punya arsip di Belanda," ungkapnya.
"Di sini (Indonesia), sedikit sekali," sambung Santy.
Buku Sultan Agung dalam Goresan S Sudjojono juga menelaah setiap arahan dan instruksi dari tim Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam sejumlah korespondensi dengan S. Sudjojono.
Korespondensi ini menjadi penting karena banyak mempengaruhi proses riset dan keputusan artistik yang diambil sang seniman dalam memvisualisasikan subyek sejarah perjuangan Sultan Agung.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso yang juga menjadi kontributor buku menuturkan sosok Sultan Agung merupakan tokoh penting dalam sejarah bangsa.
![]() |
"Kita tahu tidak banyak pahlawan nasional yang berani menyerang ke jantung kolonial. Kebanyakan para tokoh kita mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Sultan Agung visinya sangat luar biasa, dia melihat kehadiran bangsa asing akan menghancurkan bangsa Indonesia saat itu," ucapnya.
Dalam sejarah tercatat, Sultan Agung menyerang Belanda sebanyak dua kali yakni pada 1628 dan 1629.
Mahakarya S Sudjojono yang dikenal sebagai Bapak Seni Modern ini juga dicanangkan menjadi cagar budaya nasional. Saat pembukaan pameran seni Mukti Negeriku! pada September 2021, putri Sudjojono yang mewakili S Sudjojono Center, Maya Sudjojono mengatakan hal tersebut.
"Pameran ini serta berbagai kajian di dalamnya sekaligus merupakan salah satu upaya S.Sudjojono Center beserta keluarga Rose Pandanwangi Sudjojono serta Tumurun Private Museum dalam mendukung usaha Museum Sejarah Jakarta yang dipelopori oleh Sri Kusumawati dan Esti Utami dalam mengupayakan agar lukisan 'Pertempuran Antara Sultan Agung dan JP Coen' dan sketsa-sketsanya dapat terdaftar menjadi Cagar Budaya Nasional," tutur Maya Sudjojono saat pembukaan pameran.
(tia/dar)