Ini Teh Terakhir Sapardi Djoko Damono Sebelum Meninggal

Ini Teh Terakhir Sapardi Djoko Damono Sebelum Meninggal

Desi Puspasari - detikHot
Senin, 20 Jul 2020 12:52 WIB
Sapardi Djoko Damono
Sebelum meninggal, Sapardi Djoko Damono meminta secangkir teh hangat Foto: detikcom
Jakarta -

Sebelum meninggal dunia, Sapardi Djoko Damono punya satu permintaan, yakni minum teh hangat. Penulis Dee Lestari memperlihatkan secangkir teh terakhir Sapardi Djoko Damono.

Terlihat dari foto, teh dalam cangkir putih lengkap dengan sedotan. 'Teh terakhir Sapardi.' Tulis Dee Lestari pada caption foto tersebut.

"Tadi pagi, masih diseruput sedikit teh dari cangkir ini. Beberapa jam setelahnya, beliau berpulang untuk selama-lamanya, meninggalkan cangkir ini hingga dingin, meninggalkan saya yang cuma bisa terisak sambil berdoa, meninggalkan kita semua," tulis Dee Lestari dilihat, Senin (20/7/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dee Lestari mengungkapkan banyak hal yang sebenarnya hendak ia obrolkan dengan penyair Hujan Bulan Juni itu.

"Terlalu banyak yang hendak saya obrolkan dan tanyakan, yang semua itu kini tertelan dan harus saya cari jawabannya dengan cara lain. Mungkin lewat puisi-puisinya, yang meninggalkan jejak begitu mendalam dan ikut membentuk saya sebagai penulis," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

"Mungkin lewat kenangan, yang terekam dalam beberapa foto bersama, acara bersama, dan pertukaran pesan-pesan singkat. Saya akan mencari cara," sambung Dee Lestari.

[Gambas:Instagram]



Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di Rumah Sakit Eka, BSD, Tangerang Selatan, Minggu (19/7/2020) sekitar pukul 09.17 WIB. Sejak 1970-an, Sapardi Djoko Damono sukses menciptakan dan menghasilkan karya-karyanya melalui puisi dan novel.

"Sapardi Djoko Damono telah pergi. Namun, rangkaian kata-katanya telah menyebar tak terbendung, melayang di alam ilham nan abadi, menunggu untuk dipetik oleh siapa saja. Kapan saja. #SDD #SapardiDjokoDamono #RIPSapardi," tutup Dee Lestari.

Ungkapan perkataan Sapardi Djoko Damono tertuang indah dalam karya-karyanya. Puisi-puisinya, seperti Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, dan Pada Suatu Hari Nanti masih melekat di ingatan penggemarnya.

Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini juga sudah menuliskan puluhan buku, beberapa judul yang masih laris sampai sekarang, yakni Yang Fana adalah Waktu, Ayat-Ayat Api, Hujan di Bulan Juni, Melipat Jarak, dan Pada Suatu Hari Nanti.




(pus/dar)

Hide Ads