Namun menurut penulis sekaligus pegiat literasi, Maman Suherman, 'puisi politik' yang terjadi hari ini sangat 'telanjang' dan karya sastranya hilang.
"Unsur seninya hilang, bukan lagi seperti puisi tapi lebih kayak parodi atau karya pamflet. Atau saya menyebutnya pernyataan sarkas yang 'puitis' atau 'dipuitiskan'," ujarnya saat dihubungi detikHOT, Kamis (7/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pendapatnya, puisi adalah karya sastra yang indah, penuh makna dan tersirat, serta berasal dari bahasa hati.
"Sehingga buat orang puisi itu sudah cukup multi interpretasi, karena setiap orang kan persepsinya berbeda-beda. Tapi kalau "puisi politik" hari ini yang menurut saya sangat "telanjang"," ucap penulis yang juga pernah aktif di Indonesia Lawak Club (ILC) itu.
Ia menyebutkan sebelum banyak penyair maupun penulis yang menggunakan karya puisi maupun buku sebagai alat politik bagi mereka. Sebut saja WS Rendra yang kerap mengkritik Orde Baru lewat syair yang dituliskannya.
"WS Rendra melawan rezim dan tirani saat itu, sama halnya seperti fiksi yang mengkritisi. Tapi betul-betul itu sebagai invidu yang menguatkan negara," tutur Maman.
Contoh lainnya adalah puisi yang ditulis Wiji Thukul dengan satu kata 'lawan'. Puisi dari keduanya memiliki kekuatan tersendiri dan mengkritik rezim yang ada.
Berbeda dengan polemik berbalas puisi yang dilontarkan pejabat politik belakangan ini. "Puisi mereka dengan mudah menohok ke individu tertentu, siapapun dengan mudah mengasumsikan ke siapa apalagi bagi yang punya kepentingan politik. Pesannya tersurat bukan lagi tersirat," tukas Maman.
(tia/ken)