Melesat pesat ke arah yang kau mau
Menembak telak di tiap sasaranmu
Namun ada yang tak kau tahu
Satu dari pelurumu itu
Telah mengoyak isi jiwaku
Menguras asa dan tenagaku
Menghentikan banyak waktuku
Memburaikan air mataku
Merepotkan masa mudaku
(Kau Berhasil Jadi Peluru, 10 Februari 2017)
Penggalan bait puisi 'Kau Berhasil Jadi Peluru' menjadi salah satu dari 52 puisi yang terangkum dalam buku puisi kedua Putri Nganthi Wani. Putri dari penyair besar Wiji Thukul meluncurkan kumpulan puisinya di Jakarta semalam, setelah perdana rilis di Yogyakarta dan Solo.
Mendengar judul buku puisi perempuan yang akrab disapa Wani, pecinta sastra pastinya bakal menebak dengan karya Wiji Thukul sebelumnya. Namun ia ogah disebut mirip dengan karyanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau orang melihat karena judulnya akan langsung menyimpulkan jawaban dari buku puisi bapakku. Itu kan kalau satu judul itu, bukan sbuku. Kalau satu buku kan tidak melulu tentang bapak," jelas Wani ketika diwawancarai detikHOT.
Dia pun menambahkan perihal menulis yang menjadi terapi, "Seperti monolog, ngomong sama diri sendiri, mengurai emosi yang terpendam, mungkin itu sebagai jalan terakhir untuk saya. Meskipun tidak ada balasan dari dia (bapak)."
![]() |
Wani menuturkan buku yang terbit setelah hadirnya film 'Istirahatlah Kata-kata' itu membuka peluang panjang.
"Memang setelah film itu tayang, ada banyak peluang termasuk Gunawan Maryanto yang mau mengkurasi karya-karya puisi saya," tutur Wani.
Menjadi anak seorang aktivis pro-demokrasi Wiji Thukul membawa beban yang besar bagi Wani dan adiknya Fajar Merah. Ia kehilangan ayahnya di usia 8 tahun dan adiknya masih berusia 2 tahun.
Baginya menulis puisi adalah pulang. "Menulis puisi itu bisa dikatakan kayak nafas hidup saya, kesenangan saya, hobi yang memang benar-benar membuat saya tidak bisa lepas dari dia, karena saya sudah menemukan kenikmatan di dalamnya," katanya.
![]() |
Kalaupun masih ada yang mengkritik karyanya seperti buku puisi pertama yang terbit 2009 silam 'Selepas Bapakku Hilang', ia ingin mengajak untuk membaca keseluruhan puisi. Serta merenung lebih dalam tentang makna kehilangan.
"Kehilangan bapak seperti itu, menjadikan saya mendapat masalah psikologis, menjadikan saya depresi. Di antara 13 keluarga korban, hanya saya yang kehilangan bapak. Saya merasa kesepian yang depresi, ketika bercerita pada orang, orang tidak bisa menjangkau saya, tidak bisa berempati, maka balik saya menulis lagi," tukasnya.
Seperti yang termuat dalam puisinya 'Sebuah Pulang'.
Aku hanya menulis
Dan kata-kata itu keluar sendiri
Kalimat-kalimatku bukanlah senjata
Puisi-puisiku bukanlah pelarian
Menulis adalah pulang
(tia/srs)