Profesi penulis yang diagung-agungkan sebagai salah satu pelaku kebudayaan dan pencipta sebuah karya ternyata tak seindah yang dituliskan. Ungkapan itu ditulis oleh Tere Liye di status Facebook yang ditulis, Selasa (5/9) malam.
Menurut Asma Nadia yang sudah menerbitkan lebih dari 50 karya dalam bentuk novel dan cerita pendek (cerpen) itu persoalan royalti 10 persen, pajak yang tinggi serta harga dari sebuah kreativitas tak seimbang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Royalti penulis hanya 10 persen. Artinya ide dan kreativitas dihargai rendah. Kalah sama fisik buku yang dihargai 90 persennya. Ini juga terkait banyaknya pajak yang harus dilalui untuk hadirnya sebuah buku. Kabarnya ada sekitar 30 pajak. Mulai tinta, kertas, penerbitan, dan lain-lain," tutur Asma, ketika dihubungi detikHOT, Jumat (8/9).
Sekali lagi, Asma menegaskan pajak penulis jauh lebih tinggi dibandingkan pengusaha UMKM yang hanya 1 %.
"Kalau boleh usul, penulis dianggap pengrajin atau pengusaha kata saja," tutur Asma Nadia.
Serta yang seharusnya dipikirkan oleh pemerintah bersama jajarannya adalah royalti penulis bersifat aktif namun ada modal dan pengorbanan untuk menghasilkan karya.
"Sebenarnya yang penting dipahami adalah royalti penulis itu bersifat aktif karena ada modal dan pengorbanan dan biaya untuk menghasilkan sebuah karya. Banyak juga penulis yang bahkan tidak balik modal dari royalti bukunya karena jauh lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan ketika menulis baik riset, waktu, dan pengorbanan menolak income lain karena menulis," tuturnya.
Dewi Lestari yang menyatakan sikap atas tingginya pajak penulis memberikan contoh dengan penulis di Inggris. Tulisan panjangnya dipublikasikan lewat situs pribadi serta Facebook.
"Di Inggris, penulis macam saya termasuk kategori pekerja lepasan, dan untuk itu pendapatannya dianggap sebagai pendapatan aktif. Namun, di mata perpajakan kita, semua yang saya lakukan itu adalah upaya pasif. Pemasukan saya kelak juga akan menjadi pendapatan pasif. Sama seperti kalau saya mendepositokan uang, mendiamkannya, dan menunggu ia tumbuh. Masalahnya, buku saya tidak menulis dirinya sendiri. Saya yang aktif bekerja melakukannya. Bisa setahun penuh. Hasil dari kerja itulah yang menjadi modal saya untuk pergi ke penerbit dan bernegosiasi. Dan, apakah berhenti di sana? Tentu tidak. Kami masih harus menjalani program promosi berupa launching, booksigning, jumpa pembaca, dan seterusnya," pungkasnya.
(tia/nu2)