Salah satunya berasal dari Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) yang berdiri pada 26-29 April 2017 di Solo. Organisasi lintas genre itu membawahi 130 penulis dari berbagai penjuru.
Ketika dihubungi detikHOT. Ketua Persatuan Penulis Indonesia (Satupena), Nasir Tamara, menyatakan sikap yang tegas terhadap permasalahan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meminta supaya ada pajak yang adil bagi para penulis," ujarnya, Jumat (8/9/2017).
Menurutnya, keputusan penghasilan profesi penulis yang disebut royalti bisa sama seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). "Kalau bisa pajak royalti itu dikasih 1 % seperti UMKM, kenapa UMKM dikasih 1 %, penulis kan belum tentu laku atau tidak. Nah, penulis dikasih 15 %," tutur Nasir Tamara.
Baca juga: Penulis, Pajak, dan Kesejahteraan |
Pernyataan kedua yang dilontarkan Satupena juga mengenai pajak buku. Selama ini, pajak buku teks dan agama dinolkan, namun berbeda dengan genre lainnya.
"Kenapa buku agama dan buku teks dibebaskan dari pajak, kenapa tidak buku sastra, sejarah, arsitektur, pendidikan, padahal itu juga penting."
Sebelumnya, Dewi Lestari atau Dee juga melontarkan hal yang sama. Lewat akun Facebook pribadi, penulis heksalogi 'Supernova' itu menyampaikan pendapatnya. Tulisan yang berjudul 'Royalti dan Keadilan' itu dimulai dengan pilihannya beralih profesi dari penyanyi ke penulis sejak 16 tahun yang lalu.
"Ketika masyarakat berteriak-teriak soal memprihatinkannya budaya membaca dan kerdilnya industri perbukuan Indonesia, kami para penulis ikut teriak. Tapi, begitu urusan royalti, diskusi antarpenulis seringnya kembali kepada konsensus (sekaligus penghiburan) bahwa menulis adalah urusan kepuasan batin karena membahas royalti terlalu menyakitkan," tulis Dee Lestari, seperti dilihat detikHOT dari akun Facebook pribadi, Jumat (8/9/2017).
Simak artikel berikutnya!
(tia/nu2)