"Kalau kami ngobrol ada terbersit semacam rasa malu bahwa dirinya pernah berkarya seperti itu. Terutama dia malu kepada cucu-cucunya," kata Abdullah saat berbincang dengan detikcom di kediamannya pada April 2014 silam.
Sayang, dia tak berkenan menunjukkan alamat pasti 'si penulis Enny Arrow' itu. "Kau tanya-tanya saja di kawasan Dalem Kaum situ," ujarnya.
Baca juga: Enny Arrow Mendobrak Rezim Orde Baru |
Lain lagi dengan Ketua Ikapi Jakarta, Hikmat Kurnia. Dia tak menepis informasi yang disampaikan Abdullah. Tapi dia juga mengaku pernah bertemu dengan 2-3 orang yang mengaku pernah menjadi penulis novel stensilan Enny Arrow.
Orang-orang itu ada yang bersuku Jawa dan non Jawa. Dari pengakuan mereka, kata dia, dapat ditarik kemungkinan bahwa Enny Arrow itu sekedar merek dagang.
"Mungkin saja karena cerita stensilan pornografi itu begitu menjual banyak epigon-epigon menggunakan nama sama, Enny Arrow biar laku," kata Hikmat dalam sebuah perbincangan lewat telepon.
Mereka menulis berdasarkan pesanan penerbit-penerbit kaki lima memanfaatkan permintaan pasar yang begitu luas. Target buku-buku cerita semacam itu adalah para pelajar sekolah menengah pertama hingga para mahasiswa pemula.
Dosen sastra Universitas Diponegoro Semarang, Khotibul Umam dapat memahami pendapat tersebut. Sebab dalam praktik bisnis di dunia tulis-menulis kala itu lazim terjadi. Ia merujuk novel serial detektif Nick Carter yang biasa menyelipkan cerita adegan erotis pelakunya, juga novel-novel karya Freddy S.
"Freddy S mengakui bahwa (novel) Freddy S yang sebagian beredar itu tidak semua karya orisinal dirinya, tapi menggunakan nama Freddy S sebagai merek dagang. Ini industri menurut saya menarik," kata Khotibul.
Dari sederet novel karya Freddy yang oleh kritikus dikategorikan sebagai 'roman picisan', ada satu karyanya yang sangat erotis dan fenomenal pada 1985. Judulnya, 'Marissa', yang berkisah tentang hubungan pelacur di Sunan Kuning, Semarang dengan seorang pemuda.
Kembali ke jati diri penulis Enny Arrow, situs Goodreads pernah menulis bahwa dia adalah perempuan kelahiran Desa Hambalang, Bogor pada 1924, bernama Enny Sukaesih Probowidagdo.
Dia pernah menjadi wartawan pada masa pendudukan Jepang hingga era revolusi kemerdekaan, dan meliput jalannya pertempuran di seputar wilayah Bekasi. Tak disebutkan di media atau surat kabar apa hasil reportasenya itu disiarkan.
Pasca Gerakan 30 September 1965, Enny berkelana ke Filipina hingga Seattle, Amerika Serikat pada April 1967. Di sana dia belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck, dan membuahkan novel "Mirror Mirror" yang diterbitkan di Amerika.
Tentang informasi ini Khotibul Umam tak membantah mau pun membenarkan. Andai diskusi tentang Enny Arrow ini bisa berlangsung Selasa malam nanti, bukan tak mungkin ada yang punya informasi lebih sahih. Sejauh ini, sosok penulis Enny Arrow akan tetap menjadi misteri. (jat/ken)