Hal tersebut dikatakan oleh editor Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Christina M.Udiani. "Cara Elizabeth menuliskannya seperti tutur seseorang yang pernah mengenyam pendidikan jurnalistik atau menjadi seorang jurnalis. Yang disampaikan sangat detail tapi juga ada sisi humorisnya di tengah peristiwa mitor lor dan kidul," katanya di Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis, IFI Jakarta, akhir pekan lalu.
Simak: Setelah 3 Kota, Elizabeth D.Inandiak Perkenalkan 'Babad Ngalor Ngidul' di Jakarta
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penulisan 'Babad Ngalor Ngidul', Inandiak terinspirasi dari gaya menulis sastrawan Indonesia. Seperti Ahmad Tohari, Sindhunata, Ayu Utami, Dee Lestari, Gunawan Maryanto, dan Rongowarsito. Novel Ayu Utami diterjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dan diterbitkan oleh penerbit Flamarion (2008).
Baca Juga: Mitos Gunung Merapi dan Laut Selatan di 'Babad Ngalor Ngidul'
Inandiak pun berambisi menerjemahkan puisi-puisi karangan Rongowarsito yang disebutnya sebagai 'Victor Hugo dari Indonesia'. "Dari situ, ia belajar tata cara menulis sastrawan Tanah Air," ujar editor 'Pulang' (Leila Chudori), 'Puya ke Puya' (Faisal Odang), maupun non-fiksi 'Kuasa Ramalan' (Peter Carey) itu.
Selain itu, Christina kembali mengungkapkan dalam 'Babad Ngalor Ngidul', ada kata maupun kalimat berulang yang terus menerus dipakai oleh Inandiak. Kalimat tersebut, lanjut dia, yang sebenarnya bisa langsung saja dihapuskan oleh editor.
"Ada banyak layer yang terus berulang. Tapi itu saya kira sengaja dipakai oleh Elizabeth Inandiak, dan saya sengaja tidak menghapusnya," pungkas Christina.
Kini, novel 'Babad Ngalor Ngidul' sudah tersedia di toko-toko buku Indonesia dan dibanderol seharga Rp 50.000.
(tia/mmu)