Bono sedang menceritakan awal perkenalannya dengan Dela dan proses panjang bagaimana mereka akhirnya pacaran dan berujung dengan pernikahan. Aku mendengarnya dengan antusiasme yang sama seperti saat pertama kali mendengar semua itu diceritakan, dan pada saat-saat cerita itu diceritakan kembali. Bono telah mengulang, tanpa ia sadari atau justru ia sadari sepenuhnya, cerita itu empat atau lima kali atau lebih, dan sekarang mungkin yang keenam atau ketujuh kalinya.
Apapun yang diceritakan Bono tentang hidupnya, pengalamannya, apa yang pernah dialaminya selalu menarik bagiku. Sulit menyebut hubunganku dengan Bono itu apa. Tapi untuk sementara anggap saja dia temanku. Teman apa? Nanti kalian akan tahu....
Kami baru saja selesai bercinta. Tidak, tidak begitu tepatnya. Kami baru saja memanggil satu cewek untuk berdua, dan kami telah menyelesaikan bagian masing-masing dengan cepat seperti biasa, lalu, seperti biasa pula terduduk kelelahan sambil merokok dalam keheningan. Bono duduk bersandar di tepi ranjang, dengan kedua kaki selonjor di atas onggokan selimut putih tebal yang acak-acakan. Dia masih telanjang. Aku juga masih telanjang, duduk di sofa di sudut kamar dekat jendela yang lebar. Jendela itu terbuka, dengan pemandangan udara malam yang kelabu, bayangan pucuk-pucuk gedung, dan kerlap-kerlip lampu di kejauhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Posisi kami nyaris berhadapan, atau lebih tepatnya aku sengaja duduk dengan posisi agar berhadapan dengannya, walaupun tidak berdekatan. Sambil mengembuskan asap rokokku, berkali-kali pandanganku menyeberangi ranjang untuk melihat kemaluan Bono yang terkulai di atas celah kedua pahanya. Bono juga menikmati rokoknya, sambil menatap layar televisi yang menyala sejak tadi, tapi tanpa suara. Tapi aku tahu, pikirannya masih penuh dengan sosok cewek yang baru saja pergi meninggalkan kamar.
Dia akan memecah keheningan dengan satu-dua komentar tentang cewek yang baru saja kami panggil via aplikasi online. Lalu, kami akan terus ngobrol ngalor ngidul sampai dini hari, dan malam ini, semua berakhir dengan cerita Bono tentang perkenalannya dengan Dela dan proses panjang bagaimana mereka akhirnya pacaran dan berujung dengan pernikahan.
Aku mendengarnya dengan antusiasme yang sama seperti saat pertama kali mendengar semua itu diceritakan, sebelum akhirnya dia mendesah, "Sudah jam dua, mari kita tidur." Aku melangkah dan naik ke ranjang. Bono bergelung ke bawah selimut, meringkuk menghadap ke dinding. Aku mendekapnya dari belakang, dan tanpa obrolan apa-apa lagi, kami meluncur ke alam mimpi.
***
Aku baru bertemu dan diperkenalkan dengan Dela setelah hampir enam tahun pernikahan Bono dengannya, dan kami langsung menjadi akrab. Dia jenis perempuan yang nyambung --kalian tahu kan maksudnya? Dulu ia seorang perawat. Bukan perawat yang bekerja di rumah sakit. Tapi perawat yang dipekerjakan khusus oleh sebuah keluarga untuk merawat seorang perempuan tua yang sudah jompo. Semacam itulah. Semua yang kutahu tentang Dela adalah cerita dari Bono.
Setelah aku mengenalnya langsung dan lumayan sering ketemu, Dela tak pernah menceritakan masa lalunya atau cerita-cerita yang bersifat pribadi. Itu membuatku mudah merasa cocok. Ia juga tak pernah mengorek-ngorek kehidupan pribadiku: kenapa sampai sekarang aku tidak menikah dan sebagainya. Bagi Dela, mungkin, aku hanyalah teman suaminya yang kini juga menjadi temannya.
Bono bertemu Dela setelah perkenalan via aplikasi kencan. Tapi, tidak seperti beberapa cewek lain yang pertama kali bertemu langsung bisa diajak check in, Dela menolak dengan halus dan simpatik, tanpa menyinggung perasaan Bono. Sebenarnya, bagi Bono, hanya itu yang dicari: match, ketemuan, kencan semalam di hotel, lalu kembali ke kehidupan masing-masing. Tapi Dela membuat Bono kecewa sekaligus terkesan, bete sekaligus penasaran. Akhirnya, Bono berniat untuk melupakannya.
Ia tak pernah mau buang-buang waktu dengan cewek-cewek jual mahal. Tapi, di luar dugaannya, cewek itu kembali menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Sejak itu, naluri Bono mengatakan, bahwa cewek itu memang dipertemukan dengannya untuk ditakdirkan menjadi pasangan hidupnya.
Sebelum bertemu dengan Bono, Dela adalah selingkuhan seorang pejabat pemerintah daerah yang cukup kaya. Waktu itu, Dela bekerja di rumah pejabat itu untuk merawat ibunda sang pejabat yang sudah tua. Dela hanyalah gadis lulusan SMA dari kampung, terlalu polos untuk segala rayuan sang pejabat yang memberinya kecukupan materi, tapi juga cukup cerdas untuk terus berada dalam situasi yang tidak memberinya kepastian. Ia minta dinikahi, tapi tentu saja hal itu mustahil bagi sang pejabat.
Istri pejabat itu mungkin tahu adanya hubungan asmara antara suaminya dan Dela. Tapi, ia sudah terlalu nyaman untuk mengusiknya. Bagi Dela, kehadiran Bono dalam hidupnya adalah pahlawan yang telah lama dinanti-nantikan untuk membebaskannya dari sangkar emas yang mengungkungnya, menuju ke masa depan yang ia impikan.
***
Aku dan Bono bertemu di sebuah talent agency --sebutan keren untuk perusahaan yang mengumpulkan anak-anak muda "good looking" tanpa keahlian khusus yang disiapkan bagi kerja serabutan. Kami sering mendapat pekerjaan untuk menjadi figuran sinetron yang dibayar murah, talent untuk acara-acara reality show yang gagal, dan menjaga stand pameran otomotif. Pada dasarnya pekerjaan kami nyaris apa saja. Pernah kami ditawari untuk menemani pria-pria kesepian ke luar kota.
Demi uang, kami mau mengambil pekerjaan itu. Uangnya lumayan, dan kalian tahu, bagi kami yang disebut lumayan itu banyak. Dalam hal ini, Bono lebih laku dibanding aku, dan ia sangat royal sehabis dapat job luar kota; dia mengajakku untuk pergi ke Kalijodo atau klab-klab di daerah Kota untuk mencari cewek.
Bono tidak pernah membahas apa yang dia lakukan saat menemani tamu ke luar kota (untuk urusan seminar dan segala macam hal yang kami tidak peduli). Mencari cewek adalah cara kami untuk menjaga agar kami tetap waras. Aku pernah bercanda sama Bono, kita ini lama-lama bisa menjadi homo beneran. Itu tidak mungkin, kata Bono. Setidaknya tidak mungkin bagiku. Aku masih doyan cewek. Entahlah kalau denganmu. Aku tak peduli kalau kamu jadi homo, katanya.
Benar kata orang, hidup ini seperti roda berputar. Masa-masa mencari uang dengan mudah itu kemudian berakhir. Bono beralih kerja jadi barista, aku melamar di minimarket. Kami masih sering ketemu dan mencari cewek bareng. Ketika Kalijodo ditutup, dan klab-klab di Kota berguguran, dan zaman berubah, kami beralih mencari cewek-cewek di internet. Kami menyewa hotel murah dan memesan satu cewek untuk berdua. Lalu Bono menikah. Aku tetap melajang. Aku tidak pernah tertarik dengan pernikahan. Bono masih sering menghubungiku. Kali ini hanya untuk curhat.
Ternyata hidup berumah tangga tidak mudah. Apalagi ketika anak mereka lahir. Harga susu ternyata sangat mahal dan menyita hampir semua pendapatan. Belum urusan bayar kontrakan dan berbagai cicilan. Lalu Bono punya ide gila; ia mengontak satu per satu tamunya di masa lalu. Siapa tahu masih ada yang bisa memberinya pekerjaan. Ia juga memintaku untuk melakukan hal yang sama. Kalau ada yang memerlukan jasa untuk menemani atau apa saja, nanti berikan padaku, katanya.
Sebagai sahabat yang baik aku melakukan permintaannya. Satu-dua klien lama Bono ada yang nyantol. Juga satu-dua dariku ternyata juga masih ada yang butuh jasa untuk menemani menginap di luar kota. Ada juga yang mengajak staycation di dalam kota. Bahkan, ternyata ada yang mau memanggil untuk datang ke apartemennya.
Suatu kali ada yang mengontakku. Dia minta dicarikan cowok dan cewek sekaligus. Aku berpikir lama untuk menyampaikan pada Bono. Tapi duitnya gede. Akhirnya aku bilang ke Bono. Terserah bagaimana dia mau menangani orang aneh ini. Setelah itu, aku merasa apa yang kulakukan sudah di luar kewajaran. Aku takut akan menjerumuskan temanku sendiri ke dalam kehidupan yang tidak normal. Bagaimanapun, sekarang dia sudah menikah; dia suami dari seorang istri, dan bapak dari seorang anak --walaupun secara penampilan sama sekali tidak ada yang berubah pada dirinya, setidaknya di mataku yang sudah lama mengenalnya luar dan dalam.
Pikiran-pikiran itu membuatku sengaja tak lagi mengontak Bono. Ternyata, dia kemudian juga tak pernah lagi berkabar. Mungkin semakin sibuk atau kehidupannya mulai membaik sehingga tak lagi butuh bantuan dan teman curhat. Kuanggap semuanya baik-baik saja, dan aku melanjutkan kehidupanku sendiri sebagai pria lajang yang menikmati kebebasan hidup sambil terus-menerus berusaha untuk selalu bahagia dengan cara-caraku sendiri.
Sesekali, sehabis gajian, aku menyewa hotel murah pada akhir pekan, kadang-kadang di luar kota, tapi lebih sering di dalam kota yang dekat-dekat saja, yang penting aku bisa memanggil cewek untuk bersenang-senang. Sesekali, kalau waktunya cocok, aku masih bersedia melayani tamu, laki-laki maupun perempuan.
Sampai suatu hari, aku dikejutkan oleh pesan WA dari Bono: Apa kabar, masih minat nyari cewek bareng?
Pasti ada yang telah terjadi dalam hidupnya. Sesaat aku bimbang, tapi gara-gara pesan itu, aku jadi kangen juga sama temanku itu. Kalau dipikir-pikir, rasanya hanya dia yang benar-benar kumiliki di dunia ini. Setelah aku mengiyakan, dia membalas, katanya akan segera mengabari lagi setelah mem-booking hotel. Kita nanti langsung ketemu di sana.
***
Bono masih seperti yang kukenal dulu. Dia selalu bersih, belia, dan menawan. Dia bilang, dia telah mendapatkan cewek yang akan datang nanti pukul delapan malam. Kami sudah ada di hotel sejak pukul dua siang, menikmati makan siang di sebuah resto tak jauh dari hotel, lalu pindah untuk minum kopi di kafe sebelahnya.
Bono baru saja membeli sebuah warung kelontong kecil di depan rumahnya. Warung itu hampir bangkrut dan pemiliknya tak sanggup lagi melanjutkan. Bono bercerita banyak sekali. Kadang-kadang ia begitu bangga dan ceria, tapi pada saat yang lain bisa mendadak berubah menjadi melankolis dan sangat dewasa. Tapi, dia tetaplah Bono yang kukenal luar dan dalam.
Aku sendiri tidak banyak bicara. Aku lebih senang mendengar apapun cerita Bono. "Kamu ingat, klien kamu yang aneh yang kamu berikan padaku waktu itu?"
"Yang minta dicarikan cowok dan cewek sekaligus?"
"Iya. Akhirnya aku berhasil merayu istriku sendiri."
"Della? Kamu gila, Bon!"
"Hidup ini sendiri memang gila."
Lalu Bono bercerita, orang aneh itu menjadi tamu tetap Bono dan Della sampai sekarang. Della sejak itu juga mulai mendapatkan tamu sendiri dari kontak-kontak dan relasi-relasi yang tidak melibatkan Bono.
Aku geleng-geleng kepala, tanpa bisa berkomentar apa-apa, dan rasanya memang tidak ingin berkomentar. Aku tidak mau memberikan penilaian apapun pada keputusan dan jalan yang ditempuh oleh Bono. Toh, semua ini gara-gara aku juga. Gara-gara orang aneh itu. Seandainya aku tak memberikan kontaknya ke Bono.
"Maafkan aku, Bon," tanpa sadar aku nyeletuk.
"Lho, maaf untuk apa?"
"Kalau bukan karena aku...Emm maksudku, kalau bukan karena permintaan aneh tamu yang kuberikan padamu itu...."
"Sudahlah, Gun....aku perlu membesarkan anakku. Aku biasa saja menjalani semua ini."
Kami kembali ke hotel pukul empat. Bono melanjutkan ceritanya. Aku tahu dia masih menyimpan banyak sekali cerita yang hendak ia tumpahkan. Mungkin, sama seperti yang aku rasakan, baginya, aku adalah satu-satunya yang benar-benar ia miliki di dunia ini. Rasanya tidak ada persahabatan seperti aku dan Bono.
"Istriku selalu bilang, dia tidak melakukan apa-apa kecuali sekadar menemani tamu-tamunya hahaha...." Bono tertawa lepas, tapi terdengar sinis dan getir.
"Tapi, siapa yang peduli? Maksudku...aku sudah sampai pada level tidak peduli. Kau tahu, awalnya kami jadi sering bertengkar. Tapi istriku selalu benar. Bukankah aku yang membawanya masuk ke dunia semacam ini? Dia bilang, dia siap berhenti kapan saja, asalkan aku bisa mencukupi kehidupan kami. Ternyata aku yang tidak siap."
Aku terus mendengarkan.
"Jadi kamu tahu kan sekarang, kenapa aku mengajakmu cari cewek bareng-bareng lagi? Itulah caraku untuk menerima istriku. Dia sudah sangat jauh dengan tamu-tamunya yang royal, jadi kenapa tidak, aku juga bersenang-senang dengan caraku sendiri? Dan, hanya kamu yang bisa memahamiku, Gun. Hanya kamu."
Itu benar. Aku pasti sangat memahami perasaan Bono. Dan, aku bersimpati padanya. Hanya soal menyiasati hidup yang segala-galanya harus ditebus dengan uang. Mengapa harus terlalu serius? Selama masih ada celah untuk kesenangan-kesenangan kecil, rasanya tidak ada yang perlu terlalu dipikirkan.
Bono melangkah ke kulkas kecil di samping tivi, dan mengambil sekaleng bir yang tadi dibawanya dari rumah.
"Sudah dingin," dia membukanya dan memberikannya kepadaku.
"Tidak untuk nanti malam saja?"
"Aku bawa banyak. Ada lima," dia mengambil satu lagi untuk dirinya sendiri.
"Kamu sendiri gimana?" tanyanya ketika kembali naik ke ranjang dan duduk bersandar di bantal yang ditumpuk dan dipepetkan ke dinding.
"Gimana apanya?"
"Kamu kan tetap membujang. Apakah kamu sudah jadi homo beneran?"
Bono tertawa kecil. Ia begitu bahagia dengan candaannya.
"Iya! Dan, sebelum cewek itu datang jam delapan nanti, aku sekarang ingin memperkosamu dulu."
Bono tertawa. Ia meneguk birnya, lalu meletakkannya di meja samping ranjang. Tiba-tiba ia memelorotkan celananya.
"Sinting. Baru seteguk bir kamu sudah mabuk, Bon!"
"Aku tidak mabuk, ke sinilah."
Bono menarik kepalaku dan mengarahkan mukaku ke kemaluannya.
"Jangan gila kamu, Bon!"
Aku berusaha menghindar, lalu melompat dari ranjang. Tanganku masih memegang sekaleng bir. Aku berdiri di depan jendela, menatap pemandangan sore. Ketika aku berbalik dan berniat untuk kembali berbaring di ranjang, ternyata Bono sudah berdiri di belakangku, tanpa celana. Aku bengong. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat asing melihat Bono. Tapi dia tersenyum. Belum pernah dia tersenyum senakal itu. Dengan lembut ia meraih kaleng bir dari tanganku, lalu perlahan mendorong tubuhku mundur sampai mepet ke dinding. Pelan-pelan, ia turunkan tangannya untuk menaruh bir itu di atas meja, tanpa menimbulkan suara. Lalu, ia dekatkan bibirnya ke bibirku.
Dan, entah kenapa, kali ini aku tak memberontak lagi.
Mumu Aloha menulis dan menyunting naskah; cerpennya termuat dalam sejumlah antologi bersama
(mmu/mmu)