Eko Nugroho kembali ke Ibu Kota seusai kesuksesan menggelar pameran tunggal di Komunitas Salihara pada 2015. Akhir pekan lalu, pameran tunggal yang bertajuk Cut the Mountain and Let It Fly berlangsung di galeri seni ROH, Jalan Surabaya Nomor 66, Menteng, Jakarta Pusat resmi dibuka.
Perupa kelahiran 1977 yang karya-karyanya telah melanglang buana itu mengaku comeback ke Jakarta setelah mendapatkan undangan dari pihak galeri seni ROH.
"Setelah pameran tunggal di Jakarta, beberapa kali diundang pameran ke luar negeri dan baru sekarang lagi kembali ke Jakarta sejak tahun 2015," ungkapnya ketika diwawancarai detikcom di galeri seni ROH sebelum pembukaan pameran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak setahun terakhir, Eko Nugroho sudah menyiapkan pameran tunggalnya. Ketika menyambangi ROH yang kini bertempat di kawasan Menteng itu, dia terpikir untuk merespons ruang-ruang yang tak biasa.
Jika biasanya sebuah galeri seni berbentuk 'white cube' atau 'kotak putih' untuk memajang karya, berbeda dengan ROH. Eko Nugroho merasa ruang-ruang dan sekat yang berada di ROH tak biasa.
"Karya-karya yang saya tampilkan di sini, merespons ruangan yang ada di ROH. Mural yang saya buat langsung juga merespons tembok setinggi 6 meter dan panjang 13 meter ini," kata Eko.
![]() |
Cut the Mountain and Let It Fly bermula dari karya mural terbesar yang pernah dibuat oleh seniman asal Yogyakarta pada Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday ke-10 di Paris. Karya mural di Lyon, Prancis, menggambarkan lanskap gunung melayang dibelah menjadi dua.
Karyanya mengkritik konteks lokal dan dilihat sebagai sindiran jenaka akan tradisi Mooi Indie atau gaya visual khas Indonesia. Nama Cut the Mountain and Let It Fly juga dicetak di kaus yang dikenakan seorang figur patung laki-laki Everyone Building Hope yang dibuat Eko berukuran manusia.
Di galeri seni ROH, 12 patung monokromatik berwarna mencolok berada di galeri Apple yang berjudul half Hero Stone. Karya ini mengambil berbagai figur yang diciptakan Eko sejak awal kariernya sebagai seniman. Lihatlah seksama para figur yang mengkritik kondisi sosial, politik, dan kondisi sehari-hari yang ada. Di bagian tembok, tengoklah mata-mata yang siap memandang ke-12 figur tersebut.
Berlanjut ke galeri Orange, ada We Are Human yang dibuat site-specific di tengah-tengah. Berbentuk layaknya sebuah robot berbentuk bola dengan lima kaki, simbol mata tetap ada. Di sekelilingnya, ada 6 figur manusia termasuk patung yang ada di lantai dua.
Jangan ketinggalan melihat karya embroidery Eko Nugroho yang menjadi ciri khasnya. Termasuk yang versi mini di setiap tembok galeri.
Pameran tunggal Eko Nugroho yang merayakan dua dekade berkarya ini juga berbicara tentang kompleksitas situasi sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Eksibisinya berlangsung hingga 13 Agustus 2023.
(tia/mau)