Varanidae

Cerita Pendek

Varanidae

Pandu W.S - detikHot
Jumat, 07 Jul 2023 17:25 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Tidak semua makhluk bisa berada di tempat itu berjam-jam. Sebuah gorong sempit dengan timbunan barang-barang buangan diselimuti aroma busuk. Apalagi, hujan yang sedang mengguyur saat ini pasti membuat setiap makhluk hidup meringkuk, tidak terbayang betapa dinginnya berada di lubang itu. Belum lagi hantaman kuat air dari puluhan cabang saluran. Tapi semua itu bukan masalah bagi makhluk berdarah dingin sepertinya. Ia tetap di sana, diam dan tenang.

Meski binatang sepertinya terbiasa berumah di tempat seperti itu, namun ini bukan rumahnya. Rumahnya adalah danau kecil bekas tambang pasir dengan rimbunan semak dan pepohonan di tepian yang juga adalah tempat pembuangan sampah para penduduk. Ia adalah satu-satunya makhluk yang mudah dilihat yang mampu hidup di tempat seperti itu, yang lainnya adalah makhluk kecil seperti tikus, lalat, beragam jenis serangga, dan tentu miliaran mikroba.

Tapi rumahnya itu sudah tidak ada. Kini hanya ada hamparan tanah merah dengan mobil dan kendaraan berat yang lalu lalang di sana. Kabarnya, sedang disiapkan pembangunan hunian elit. Tentu bukan untuk makhluk sepertinya, tapi untuk manusia. Ia menjadi yang terakhir dari jenis familinya, Varanidae, di wilayah itu. Setidaknya, demikianlah perkiraannya hingga semalam ia melihat bahwa pasangannya masih hidup.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia sebenarnya lebih suka melakukan apapun sendiri, bukan jenis yang harus selalu berkelompok atau perpasangan. Ia juga tidak mempedulikan penguasaan wilayah seperti binatang lain. Dalam habitat dan ekosistem aslinya, hutan dan rawa alami, ia hidup dan berkelana sendiri. Tapi dengan danau dan belukar yang luasnya bahkan tidak sampai seluas lapangan bola, reptil betina itulah yang bersamanya sepanjang waktu.

Tepat saat danau tempatnya tinggalnya mulai diuruk dan belukar dibabat, ia dan sang betina segera mengungsi. Untuk makhluk seperti mereka, tempat pengungsian terbaik tetap penuh ancaman, baik atap rumah manusia maupun got. Tempat pertama adalah pilihan ternyaman meski penuh risiko. Berat tubuh dan cara mereka melangkah menimbulkan gesekan dengan plafon hingga mengeluarkan suara yang membuat manusia yang mendengarnya bergidik. Dan manusia jelas bisa berlaku lebih mengerikan dari binatang buas mana pun.

ADVERTISEMENT

Itu terjadi padanya bertahun tahun lalu. Seorang wanita muncul lalu berteriak histeris menyaksikan kepalanya melongok dari plafon yang terbuka. Ia pun tak kalah terkejut dan takut.

Ia hanya sedang mencari jalan keluar. Sayang dia keluar di tempat yang salah, sebuah kamar tempat bayi sang wanita itu sedang tertidur pulas. Wanita itu mengambil anaknya dan lari memanggil tetangga-tetangga. Satu-satunya yang ada di benak sang ibu adalah binatang itu akan melahap anaknya. Sesuatu yang tentu tidak masuk di akalnya, ia tahu mana mangsa dan mana anak manusia.

Puluhan orang mengepung. Dua orang berhasil menyusulnya ke atap. Mereka tampak sudah terbiasa menghadapi binatang liar. Ia ditangkap dan diseret. Beberapa orang berteriak potong, yang lain menyeru bakar. Sementara suami wanita itu sudah siap mengokang bedil.

Orang-orang murka. Sebelumnya, sudah ada desas desus bahwa binatang itulah yang memangsa bayi yang tubuhnya rusak dan ditemukan di gorong-gorong beberapa waktu lalu. Padahal, mayat bayi yang ari-arinya masih menempel itu memang sudah ada di sana.

Beruntung salah seorang yang menangkapnya, pria dengan ikat kepala, tampak membela. Suaranya didengar oleh orang-orang itu. Alhasil, ia dibawa pria itu dan dilepas ke sebuah danau kecil yang masih dikelilingi hutan dan rawa. Sebelum menjadi baris-baris hunian manusia beberapa tahun kemudian, dan menyisakan danau yang menjadi rumah terakhirnya yang kini pun lenyap.

Pilihan kedua lebih masuk akal. Selokan yang busuk dan kotor bukanlah habitat spesies Homo sapiens. Ia dan pasangannya pun bisa menetap dengan tenang. Mereka pun lebih dekat dengan sumber makanan, tikus dan curut. Dengan mudah mereka bisa mendeteksi mana-mana saja sarangnya. Dan dari semua itu, telur ular adalah favorit mereka. Manusia, seharusnya berterima kasih sebab mereka adalah predator alami hewan-hewan yang dibenci manusia.

Permasalahannya adalah sifat alamiah makhluk berdarah dingin, mereka harus menyerap hawa panas matahari. Dan itu tidak bisa sebentar. Sekali berjemur, mereka butuh waktu setidaknya dua jam, dua kali sehari, pagi dan sore. Pada momen itulah ancaman bisa terjadi. Dua anaknya menjadi korban. Anak-anak manusia mengejar dan menangkap mereka sebagai mainan. Hingga kini, ia tidak tahu lagi dimana anak-anaknya.

Saat berjemur juga lah pasangannya hilang. Saat itu, sang betina sedang menyerap cahaya anugerah Tuhan bagi alam semesta di tempat yang biasa mereka gunakan. Sebuah halaman rumah tua yang telah menjadi belukar. Tempat paling aman di sana. Demikian mereka pikir selama ini.

Ketika menyusul betina melakukan ritual sore itu, ia tidak mendapati pasangannya di sana. Sisa rumput dan semak yang rubuh menandakan telah terjadi pergumulan. Dan dengan lidah yang serupa lidah ular, ia mencecap sisa aroma manusia. Tanpa akal induksi seistimewa Homo sapiens pun, ia tahu bahwa manusia telah menangkap betinanya.

Tidak banyak alasan kenapa manusia mau berpayah-payah menangkap seekor biawak. Satu-satunya alasan adalah untuk mendapatkan dagingnya. Konon daging biawak sangat bagus menyembuhkan penyakit-penyakit kronis, seperti epilepsi dan asma.

Tentu ia tak memahami alasan manusia itu. Naluri membimbingnya mencari tanpa duga-duga apakah sang betina masih hidup atau sudah mati, juga tanpa takut akan menghadapi bahaya yang sama. Ia mencari dengan mengais sisa-sisa bau yang dapat ditangkapnya di tanah maupun udara.

Seolah mendapat restu Tuhan, ia tidak mendapati ancaman apapun, hanya beberapa anak manusia yang berteriak dan mencoba mendekatinya saat ia berjalan melintasi tepi sebuah lapangan. Setelah berjalan selama beberapa hari, ia menemukan sang betina sedang terikat di sebuah halaman rumah kecil.

Tapi ia tidak mendekat. Ia sangat berpengalaman untuk tak berlaku gegabah menuju tempat yang jelas-jelas berbahaya. Apalagi, banyak manusia lalu lalang di tempat itu.Maka, sang jantan mengamati dari kejauhan. Dan di sinilah kini ia berada.Dari dalam gorong-gorong sempit berjarak 30 meter dari rumah itu, ia mengamati pasangannya.

Ia sungguh beruntung, Tuhan mengirimkan hujan yang deras dan tak berkesudahan. Pada saat seperti ini manusia tidak akan memperdulikan jika ada binatang sepertinya melintas di jalan. Mereka bahkan tidak akan keluyuran keluar rumah.

Inilah waktunya. Ia melangkah keluar setahap demi setahap dari lubang itu. Moncongnya memandu. Moncong yang lebih serupa ular dari pada kadal. Lidah ularnya tidak berguna saat hujan seperti ini. Ia harus mengandalkan penglihatannya. Lalu kepalanya muncul utuh. Ia mengamati.

Ia melangkah keluar ke jalan dan mendekat ke arah pasangannya. Tetap tenang. Tidak berapa lama, ia pun sudah ada di sisi betina. Sang betina bereaksi sesaat lalu diam. Upaya sang betina memberontak selama beberapa hari jelas membuat tenaganya terkuras.

Ia masih diam, seolah mencoba menganalisis kemungkinan-kemungkinan cara melepaskan pasangannya tersebut. Sebuah tali mengikat erat di bagian perut. Si penangkap jelas sengaja membiarkan si betina bergerak bebas meski terbatas. Biasanya, manusia akan membuat hewan itu benar-benar tidak berdaya dengan mengikat keempat kakinya di atas punggung.

Tali yang melilit betina itu diikatkan ke sebuah pagar berangka besi. Ia bisa mengukur kekuatannya, meski pagar besi itu kecil, tapi tidak akan roboh atau tercabut dari tanah. Ia tidak tahu apakah akan berhasil, tapi satu-satunya cara adalah menggigit tali itu hingga robek. Itu membutuhkan kesabaran. Dan yang lebih penting, sangat membutuhkan waktu. Ia pun memulai rencananya.

Hujan deras memang memudahkannya terhindar dari ancaman, tidak ada manusia yang mempedulikannya saat air langit mengguyur bumi. Tapi itu juga mengaburkan pendengaran dan penciumannya. Ia kehilangan insting kewaspadaan.Saat sedang menggigit tali pada pangkal ikatan di badan betina, sebuah kawat melingkar tiba-tiba masuk dan mengunci lehernya. Ia terkejut lalu berontak dan mencoba menyerang balik penyerangnya. Tapi kawat melingkar itu tersambung bilah kayu panjang yang mendorong dan menahan kepalanya. Ia tidak bisa mendekati sang penyerang.

Sesaat kemudian orang lain menarik ekornya mencoba menjauhkannya dari si betina. Orang tersebut menindihnya dan memegang kedua kaki depannya. Sejurus kemudian keempat kakinya terikat.

***

Entah bagaimana mereka harus mengekspresikan perasaan satu sama lain. Jantan betina itu telah bertemu. Tapi mereka dalam posisi terikat, di tempat yang gelap. Keduanya sedang berada di dalam sebuah mobil bak.

Hujan telah reda. Kendaraan yang membawa kedua reptil itu berhenti. Penutup bak dibuka. Sang betina ditarik oleh kedua orang itu lalu diletakkan di tanah. Menyusul kemudian yang jantan.

Keduanya diletakkan dengan posisi agak berjauhan satu sama lain. Tampak sekeliling mereka pepohonan yang lebat. Terdengar bunyi-bunyi tonggeret dan burung-burung hutan. Di depan mereka terhampar danau yang luas. Bagi kedua binatang itu, tempat ini sangat asing.

Satu orang merapikan kembali bak mobil yang terbuka, menuju kemudi mobil dan menyalakan mesin. Seorang lagi berjalan ke arah betina kemudian berdiri di atasnya dengan sedikit menekan tubuh hewan itu dengan lutut. Ia mengeluarkan pisau dari sarung yang terikat di pinggang. Dengan lihai dan cepat, tali-tali yang mengikat betina disayat.

Ia kemudian berjalan menuju sang jantan. Dalam hitungan detik, temali yang meringkusnya pun lepas. Kedua binatang itu mendekat satu sama lain. Mereka kemudian melakukan gerakan serupa berpelukan.

Selang beberapa saat, sang jantan memalingkan pandangan ke manusia-manusia yang menangkap dan membawa mereka ke sini. Ia mengamati orang yang baru saja melepaskan tali. Orang itu pun melihatnya sesaat sebelum menutup pintu mobil dan pergi. Entah hewan itu ingat atau tidak dengan pria tersebut sebab kini ia sedang tidak mengenakan ikat kepala.





(mmu/mmu)

Hide Ads