Sejak pagi hingga tengah hari, Singapura diguyur hujan pada Minggu (21/5/2023). Awan gelap menyelimuti kota memberikan kesan sendu yang gampang banget mengundang otak untuk nostalgia ke masa lalu. Semesta hari itu tampaknya memang mendukung untuk mendengarkan cerita-cerita dari para seniman dan pegiat teater lokal tentang pengalaman dan karier mereka sejak tahun 90-an dalam gelaran SIFA-X: there is no future in nostalgia. Berlokasi di sebuah Centre 42, studio teater tempat banyak seniman panggung teater Singapura berkarya, salah satu bagian dari show SIFA-X: there is no future in nostalgia bertajuk The Vault: Past Perfect digelar.
Di dalam sebuah studio sederhana dengan jumlah penonton yang bisa dihitung jari, hari ini deretan nama besar di dunia teater Singapura tampil dengan busana monokrom. Mereka adalah Lim Shi-An, Nelson Chia, Serene Chen, dan Oniatta Effendi dengan penampilan virtual dari Tan Kheng Hua, aktris pemeran Crazy Rich Asian, yang kebetulan sedang menjalani kegiatan syuting di Kanada sehingga tak bisa hadir langsung.
![]() |
Konsep yang ditawarkan dalam gelaran The Vault: Past Perfect sangat personal. Masing-masing seniman menceritakan perjalanan karier, pengalaman dengan para senior di dunia teater, tantangan dalam berkarya di tahun 90-an ketika kebebasan berekspresi lewat seni tak sebebas saat ini, hingga anekdot-anekdot dari proses audisi dan pendalaman karakter yang sangat berkesan tak hanya buat mereka, tapi juga buat penonton.
Tak ada panggung di gelaran The Vault: Past Perfect, yang ada hanya lantai berlapis kain putih tipis. Semua seniman pengisi acara tampil tanpa alas kaki. Seolah tak ada jarak antara mereka dan penonton. Ketika masing-masing dari seniman memulai cerita dan monolog mereka, semua yang ada di ruangan teater tersebut diajak berimajinasi membayangkan momen kejadian tiga dekade lalu. Tentu imajinasi dari masing-masing penonton tidak akan identik.
![]() |
Ketika Nelson Chia menceritakan pengalamannya semobil dengan legenda teater Singapura Kuo Pao Kun dan berbincang soal motivasi dan eksistensinya terjun ke dunia teater, semua orang punya gambaran yang berbeda di kepala masing-masing berdasarkan monolog dari sang seniman. Dengan pembawaan yang santai dan menyenangkan (dengan selipan kisah emosional yang membuat hati dan bibirnya bergetar saat menceritakannya), Serene Chan menghadirkan cerita-cerita seru soal masa audisi di awal kariernya di panggung teater tahun 90-an. Ada serangkaian kenangan dan curahan perasaan mendalam di sana yang secara ajaib menyedot penonton masuk ke lubang waktu dan seperti ikut berada di ruang audisi bersama dengan Serene Chan muda. Di satu momen, Serene Chan mengambil ukulele berwarna biru (senada dengan warna bangunan Centre 42) dari pinggir panggung dan menyanyikan lagu berjudul Bunga Sayang dari panggung Kampong Amber (1994) yang pernah dia mainkan.
Oniatta Effendi menghadirkan kisah yang tak kalah personal. Menggunakan konsep penampilan yang terinspirasi dari salah satu panggung teater yang diperankannya, Oniatta mengenang momen-momen penting dalam kariernya dengan 'mengambil' memorabilia dari masa lalu dan 'memasukkannya' ke dalam sebuah peti. Baik memorabilia dan peti itu tidak terlihat. Meski demikian, penonton seperti bisa melihat jelas apa yang dipegang, disentuh, dan dipasang oleh Oniatta Effendi dalam penampilannya.
Oniatta Effendi menghadirkan monolog ceritanya dalam bahasa Inggris dan Melayu, mengingat dirinya banyak terlibat dalam produksi teater berbahasa Melayu dalam perjalanan kariernya. Seperti Serene Chan, Oniatta juga tampil menyanyi di The Vault: Past Perfect meski hanya satu-dua bait lagu. Yang membuat penampilan menyanyi singkat itu terasa sangat berkesan adalah karena penjiwaan dan kisah personal yang mengikutinya. Deretan anekdot dari Oniatta pun mengundang gelak tawa, salah satunya ketika dia sedang melakukan riset karakter untuk sebuah produksi teater yang mengharuskannya pergi ke distrik Red Light di kawasan Geylang. Oniatta mengenang bagaimana dirinya digoda oleh seorang Pak Cik dan menceritakannya dengan gaya ala stand-up komedian.
![]() |
Di antara sesi-sesi personal itu, The Vault: Past Perfect juga menampilkan potongan-potongan adegan dari naskah teater dari era 90-an, dibawakan oleh Lim Shi-An, Nelson Chia, Serene Chen, dan Oniatta Effendi. Lim Shi-An meminta bantuan Serene Chen ketika menampilkan satu adegan dari teater Mergers and Accusations (1992) karya Eleanor Wong. Dialog antara keduanya menggambarkan bagaimana situasi masyarakat dan politik saat itu menekan komunitas LGBT sehingga tak bisa menjalani kehidupan sesuai hati nurani mereka. Segala perasaan tumpah dalam potongan adegan itu dan menutup The Vault: Past Perfect dengan sempurna.
The Vault: Past Perfect menjadi sebuah produksi eksperimental yang dihadirkan SIFA (Singapore International Festival of Arts) 2023 dalam segmen SIFA-X. Dengan konten yang sangat personal dan menyentuh, menyaksikan The Vault: Past Perfect terasa seperti mendengarkan cerita paman dan bibi keren dalam keluarga, seperti menikmati kisah dari teman dekat soal titik penting dalam hidup mereka, seperti diajak tenggelam ke dalam dunia nyata di masa lalu yang meski kita tidak mengalaminya langsung tetapi rasanya benar-benar ada di sana.
![]() |
The Vault: Past Perfect dan rangkaian penampilan SIFA-X: there is no future in nostalgia akan kembali digelar Sabtu-Minggu (27 dan 28 Mei 2023) di Centre 42, 42 Waterloo Street, Singapura. SIFA 2023 akan berlangsung hingga 4 Juni 2023.