Lagi dan lagi, rasa sesak mendominasi. Atmosfer di rumah ini tak pernah menyejukkan, hanya mengantarkan pada sesak dan kian sesak. Beberapa pertanyaan akhir-akhir ini berputar di kepalaku, yang paling membuatku penasaran, mengapa dua tokoh utama tak kunjung mengakhiri cerita?
Setiap tokoh hanya merasakan lara, saling menyiksa dan meracuni. Namun entah mengapa tiada satu pun yang berniat untuk pergi? Mengakhiri cerita yang semakin ditumpuk derita. Rumah yang terselimuti segala kerumitan yang sulit diterjemahkan, dan sialnya aku adalah bagian di dalamnya. Ini sungguh membuatku gila. Aku sudah muak dengan semuanya.
Rumah yang dibangun karena keterpaksaan, putus asa pada takdir tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi di kemudian hari. Layaknya air dan minyak yang sulit untuk menyatu. Tuan yang namanya harum dikatakan orang-orang. Kesempurnaan Tuan diagungkan orang-orang. Padahal mereka hanya sok tahu. Sedangkan Nyonya yang dianggap tokoh jahat, hanya karena berasal dari dunia yang berbeda dengan sang Tuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ingin saja kuteriakkan apa yang sesungguhnya terjadi. Berteriak bahwa yang mereka katakan adalah omong kosong. Mereka terperdaya oleh bualan Tuan yang pandai menipu. Mereka tak pernah tahu berapa banyak kesukaran yang telah Nyonya lalui, berapa ribu duri yang menancap di tubuh Nyonya, dan sayatan-sayatan tak terhingga yang Nyonya tutup-tutupi.
"Tuhan tidak pernah tidur. Ia tahu mana yang benar dan salah. Tak perlu engkau gembor-gemborkan mana yang sebenarnya baik dan buruk. Kita hidup tidak untuk menyenangkan hati orang-orang," Nyonya selalu berkata demikian dengan tampang yang pasrah. Namun Nyonya, apa salah jika membela diri? Tuhan mungkin tidak akan keberatan jika sedikit saja mengatakan apa yang dirasakan.
Tuan yang katanya cinta pertama, namun bagiku hanya omong kosong semata. Engkau mungkin adalah pengecualian yang hanya mampu dihadapi oleh segelintir orang. Terlalu banyak racun yang Tuan tuangkan sehingga aku lupa apapun tentang kau selain hanya cedera yang aku rasakan. Aku benci engkau, Tuan. Sangat benci, sebesar sayang yang aku miliki dalam diam.
Brakkk....
Suara pintu yang dibanting memecah lamunan. Sudah pasti perang dingin telah dimulai. Ini adalah adegan paling menyebalkan yang sering terjadi di rumah ini. Membuat bingung orang lain saja Tuan dan Nyonya ini. Jika sudah begini, aku harus membela yang mana? Biarkan sajalah mereka, lebih baik aku melanjutkan kegiatan meratapi nasibku lagi. Sampai mana tadi? Sial, aku jadi lupa.
Ah, apa ini?
Tak perlu sampai menjatuhkan air mata. Aku sudah terbiasa dengan siksaan ini. Harus berapa banyak lagi air mata yang keluar? Ia tak mengubah apapun. Setelah tangis usai, luka baru akan tiba lagi. Itu hanya buang-buang waktu saja.
Cahaya matahari mengintip dari balik gorden, menerpa kulit wajah yang dibasahi air mata. Rupanya hari sudah siang dan aku masih duduk termenung di ruang ratapan, menunggu kapan tiba waktu aku dapat melangkah pergi dari rumah ini. Detik demi detik yang berjalan serasa amat lambat, ingin saja aku memiliki mesin waktu dan segera datang pada hari dimana aku terbebas dari segala sesak.
Aku hanya pecundang yang enggan menghadapi masalah. Tapi aku ingin tetap waras, jika terus menerus bertahan, mungkin tinggal menunggu kapan waktu yang tepat untuk melepas paksa nyawa dari tubuhku. Dan aku tidak ingin itu terjadi, setidaknya dalam waktu dekat.
Seorang perempuan paruh baya membuka pintu kamar, aku menoleh dengan enggan.
Ah, pasti ia akan mengadu nasibnya. Lagi. Bukan aku tidak ingin mendengar keluh kesahnya itu, tapi aku sudah terlalu muak. Untuk apa tetap bersikukuh memegang ikatan yang sudah sejak lama rapuh, lebih tepatnya tak pernah utuh. Ingin aku memberi saran yang paling ampuh, lekaslah lepas agar kembali sembuh. Namun suara itu hanya bertahan di tenggorokanku.
"Aku sudah tidak sanggup lagi. Mengapa harus aku yang selalu mengorbankan diri? Apakah ia tak pernah berpikir untuk sesekali ikut mengorbankan diri? Sejak awal aku terjerumus dalam ikatan ini, sudah berapa banyak lara yang aku tanggung? Jika saja perpisahan bukanlah aib, mungkin sudah sejak dulu aku melarikan diri. Tapi malang bagiku, takdir yang mengikat kami enggan memutuskan diri."
Nyonya menyuarakan nasibnya yang sudah khatam aku hafal. Wajahnya yang sendu, namun tetap berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Seakan ia berkata hanya omong kosong saja. Tetapi mata yang tak menitikkan air mata, tak cukup untuk mengelabui. Suara lantang tanpa getaran, tak lekas menipu. Wajahnya nyata memancarkan luka yang tertahan, tapi ia tetap naif dan itu adalah siksa yang ia cari sendiri.
"Harus dikatakan apa lagi? Bukankah kita sudah sama-sama tahu bahwa rumah yang menaungi kita hanya bisa menyelamatkan kita dari panasnya terik matahari dan dinginnya angin malam? Ia tak bisa menyelamatkan hati kita dari pedihnya siksa yang mendera batin, atau dari racun yang perlahan-lahan masuk ke tenggorokan. Lalu untuk apalagi menyesali nasib?"
Aku masih bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan apa yang sejak tadi aku tahan. Melihat wajahnya, aku menjadi lemah.
"Setidaknya aku tetap bertahan. Aku mengadukan nasibku sekadar untuk mengurangi sesak yang memenuhi dada. Aku sadar jika setelah ini, sesak akan kembali bertambah meski seberapa kuat aku mencoba mengeluarkannya. Hidup tidak hanya sekadar berbahagia. Melarikan diri, berarti aku telah gagal menghadapi badai."
Lagi, ia bersikeras dengan argumennya yang menyebalkan itu.
"Tetapi bukankan Tuhan tidak akan membebani hambanya melebihi kemampuannya? Lalu mengapa Ia memberimu beban yang begitu berat? Seharusnya sah-sah saja jika engkau menyerah."
Akhirnya, aku sudah tidak tahan lagi. Suara yang kutahan kukeluarkan dengan lantang.
"Tuhan tahu aku kuat. Meski tak jarang aku merintih ketika aku sudah tak tahan. Engkau juga begitu, Tuhan tahu engkau kuat. Walau engkau menampik hal itu. Tidak semua rumah menyuguhkan bahagia. Untuk sebagian manusia yang terpilih, mereka mendapat rumah yang membuatnya berdarah."
Apa katanya? Ia malah semakin membuat aku muak. Aku hanya ingin ia kali ini mengatakan menyerah, bukan memperdayaku untuk sama sepertinya. Aku ingin ia merasa bahagia dan lekas lega. Begitu pun Tuan sang pembuat luka, kupikir ia akan sama bahagianya. Tak peduli dengan aib atau reputasi sialan itu. Semua orang berhak bernapas lega; bukan hanya satu orang yang harus dipedulikan, ini tidak adil. Bukankan jalan ke surga tidak hanya satu jalan saja? Jika satu cara terlalu sukar, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Kita hanya manusia yang memiliki batas, bukan para Nabi yang sabarnya tiada habis.
Nyonya mengusap kepalaku dengan lembut. Ia menyihirku lewat tangannya yang sakti itu. Matanya seperti memancarkan mantra-mantra yang membuat hati kembali teduh. Sial, ke mana perginya kebencian yang telah menggunung tadi? Jangan menyihirku! Aku tidak ingin sama sepertimu.
Siti Rubaiah Al Adawiyah mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang
(mmu/mmu)