Syaura Qotrunadha menjadi salah satu finalis dari penghargaan seni media baru bergengsi di Asia bernama VH Award. Seniman asal Yogyakarta yang menampilkan video art berjudul 'Ketidakstabilan Mesin Masa Depan' itu berbicara soal masa lalu, kini, dan masa depan yang membawanya masuk nominasi VH Award.
Lulusan Jurusan Fotografi di ISI Yogyakarta itu menceritakan awalnya tak menyangka saat namanya berhasil masuk sebagai finalis VH Award.
"Pas baca email, aku syok banget. Kaget, wah namaku benar-benar lolos sebagai finalis VH Award. Ketika tahu bersanding dengan seniman-seniman profesional dan keren lainnya, aku bersyukur sekali," kata Syaura sembari tertawa ketika diwawancarai di Museum MACAN, AKR Tower, kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (8/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syaura menceritakan konsep video art yang dikirimkan ke penyelenggara VH Award baru berupa skrip atau naskah dan subtitel saja. Karyanya pun diakuinya masih terbilang mentah.
"Tapi aku sudah ada konsep akan menceritakan soal masa lalu, sekarang, dan masa depan. Yang menurutku, mungkin saja itu sesuai dengan visi misi dari tim juri VH Award dan penyelenggara Hyundai. Sejak awal, aku juga sudah ingin memakai unsur air dan tanah ke dalam video," sambung Syaura.
![]() |
Syaura asal Mataram meyakini masa depan kemajuan teknologi di Asia tidak pernah lepas dari keyakinan manusia di dalamnya. Dia pun mencari titik temu antara manusia dan teknologi.
Dalam karya video art berjudul 'Ketidakstabilan Mesin Masa Depan' yang diproduksi untuk VH Award keempat merupakan video kolase dan arsip visual yang ditampilkan dengan proposisi performatif.
Karya ini juga mengeksplorasi hubungan antara air dan migrasi makhluk hidup. Demi mewujudkan karyanya, ia melakukan riset dari Yogyakarta sampai Bandung ketika masa pandemi masih mewabah di Indonesia.
"Saya rasa itu tantangannya ya ketika penggarapan karya ini, mobilitas saat itu masih dikekang pemerintah karena saya ingat sekali Indonesia memasuki gelombang kedua COVID-19," katanya.
Dia pun banyak berdiskusi bersama para finalis lainnya selama masa residensi virtual. "Saya bersyukur bisa mengobrol banyak dan terbuka akan banyak hal. Sayangnya, akses untuk CGI di Indonesia masih terbatas, jika melihat karya Lawrence Lek perkembangan teknologinya masih berbeda jauh dengan di Indonesia," katanya.
Dalam waktu dua minggu ke depan, Syaura bakal bertolak ke London untuk melanjutkan pendidikan gelar master Fine Art di Goldsmith, University of London. Dia bakal mengambil pendidikan master S2 ke London dan mempelajari berbagai medium lainnya.
"Saya mengambil jurusan Fine Art karena menurutku setelah S1 di Yogyakarta, saya merasa seru untuk belajar Fine Art di sana, karena praktik kekaryaan saya lintas medium dan banyak hal yang bisa dibahas," pungkasnya.
(tia/dar)