Sosok Emiria Soenassa yang dikenal sebagai pelukis perempuan pertama di Indonesia diangkat ke panggung teater. Dira Sugandi pun dipercaya untuk memerankan tokoh penting bangsa, yang kisahnya belum banyak diketahui publik umum.
Dalam pertunjukan monolog berjudul Yang Tertinggal di Jakarta, Emiria Soenassa diketahui mulai melukis saat berusia 45 tahun. Ia tergabung dalam organisasi Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang anggotanya mayoritas adalah laki-laki.
Dira Sugandi mengatakan ketika diajak untuk pentas monolog, ia mengaku deg-degan sekaligus takut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pementasan monolog adalah sesuatu yang saya takuti. Saat diajak, saya berujar 'ih serem banget ya', sendirian ada di atas panggung tapi saya adalah seseorang yang menyukai tantangan. Kesempatan ini datang kepada saya dan saya nggak bisa menolak," kata Dira Sugandi saat jumpa pers serial monolog Di Tepi Sejarah di Creative Hall, M Bloc Space, Jakarta Selatan, Senin (15/8/2022).
Ketika pertama kali membedah naskah bersama Felix K Nesi dan berdiskusi dengan tim lainnya, pikiran Dira Sugandi mulai terbuka. Mereka membuka ruang diskusi dan interpretasi agar Dira bisa memerankannya.
Untuk menjadi seorang Emiria Soenassa, Dira mengaku rutin melakukan meditasi setiap hari. Ketika mulai menjalani proses latihan, dia kerap menampilkan sosoknya hadir ke dalam dirinya.
"Saya mulai berdialog dengan dia (Emiria Soenassa)," kata Dira.
"Ketika berada di stage, sebelum performans saya juga meminta waktu untuk berada di atas ranjang dan menghadirkan Emiria ke dalam diri saya, yang itu sangat membantu saya untuk fokus latihan," sambungnya.
Dira Sugandi menuturkan ketika pertama kali datang latihan ke studio Titimangsa Foundation, ia merasakan nol dan tidak ada persiapan sama sekali.
"Interpretasinya wah gila ya, gestur yang dicontohkan seperti ini ya. Membuat Emiria jadi hidup juga susah, saya akhirnya berani menyuarakan pemikiran dia," katanya.
Sosok Emiria Soenassa menjadi salah satu tokoh penting bangsa yang terlupakan. Tanya banyak sumber literatu maupun saksi hidup yang pernah menulis tentang Emiria.
Emiria Soenassa dikenal sebagai pemikir revolusioner. Pada 1949, ia menjadi salah satu delegasi yang hadir di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Sebelum aktif menjadi pelukis, ia sempat menjadi perawat dan kepala perkebunan.
Usmar Ismail pernah menyebutkan sosok Emiria Soenassa itu sejajar dengan Chairil Anwar dan Kartini. Bukan hanya sebagai perintis dalam seni lukis Indonesia, tapi juga juru rawat dan kepala perkebunan pertama berkebangsaan Indonesia.
(tia/dar)