Isu tentang dunia kepolisian marak dibicarakan belakangan ini. Mulai dari hastag #percumalaporpolisi sampai #punglipolisi pernah tersebar di jagat maya Indonesia.
Ketika penembakan yang terjadi di rumah Irjen Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, mengakibatkan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J terbunuh, kasus tersebut makin menemukan titik terang. Bukan lagi polisi tembak polisi, namun pembunuhan terencana.
Terkuaknya kasus Ferdy Sambo sebulan yang lalu itu turut dikritisi oleh komikus Gump n Hell. Adalah komikus Errik Irawan yang menyentil maraknya isu di dunia kepolisian lewat komik yang diunggahnya pertengahan Juli lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia membuatnya menjadi beberapa adegan. Awal pemicu adegannya ketika sebuah klub bola di Riau harus membayar Rp 40 juta untuk pengamanan pertandingan, padahal surat izin keramaiannya sudah keluar.
"Musti bayar Rp 40 juta?" tanya Hell kepada Gump yang sedang membaca surat kabar mengenai isu pungli tersebut.
"Tapi mintanya dadakan. Gak ngasitau di awal eh malah sekian hari setelah surat izin keramaiannya keluar baru minta," jawab Hell lagi.
Dalam percakapan antara karakter Gump n Hell itu, mereka mempertanyakan pekerjaan polisi. Sebagai masyarakat umum, lapor kemalingan motor saja harus bayar, apalagi meminta mereka menangkap maling yang ada CCTV-nya juga.
"Mereka kan sudah digaji dan dikasih anggaran gede dari rakyat. Mosok masih minta2," ucap Hell lagi.
Uniknya di akhir adegan cerita yang dibubuhi tag lokasi di Duren Tiga, Jakarta Selatan, itu ada adegan ketika polisi menembak polisi. CCTV yang ada di tiang listrik juga sedang dirusak oleh 'tikus'.
Kepada detikcom, Errik menuturkan tema sentral komik itu adalah isu pungli yang terjadi di dunia kepolisian.
"Kebetulan saat bikin itu, ada kasus penembakan di rumah Ferdy Sambo, pas pembuatan komik ada yang DM soal peristiwa penembakan, tapi saya ceritakan dalam bingkai pungli," tuturnya.
Di awal berita itu muncul, masih banyak simpang siur yang beredar. Makanya Errik membuat adegan dua polisi yang saling menembak. Tapi secara garis besar, ia lebih menyentil kepada aparat kepolisian yang punya kekuasaan bisa memanipulasi informasi pada publik.
"Saat kasus keluar ada pernyataan polisi, yaitu polisi tembak polisi, karena melecehkanlah. Lebih ke produksi informasi, hoax yang dianggap benar dan banyak yang mengamini. Itu tentang hoax yang diproduksi oleh aparat," tegasnya.
"Kita nggak bisa telan informasi dari polisi begitu saja, atau yang dinyatakan oleh pihak berwenang, karena akhirnya rembetannya panjang. Sekarang ketahuan pelaku utamanya Ferdy Sambo, Brigjen Bharada E sebagai tumbal. Publik akhirnya juga bicarakan soal kasus-kasus besar yang pernah dipegang Sambo, benarkah skenarionya begitu? Benarkah yang dikatakan oleh Sambo? Validasi informasi itu yang belum tentu benar. Kita harus tetap kritis," pungkas Errik.
(tia/nu2)