Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta menggelar ceramah publik untuk mengenang sosok budayawan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Sosok STA yang juga dikenal sebagai pendiri Universitas Nasional (UNAS) Jakarta itu juga merupakan anggota Akademi Jakarta.
STA merupakan salah satu anggota Akademi Jakarta yang bersama dengan Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Asrul Sani, Rusli, Popo Iskandar, Mohammad Said Reksohadiprodjo, D. Djajakusuma, dan Affandi yang dikukuhkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1968.
Sebelum mengawali ceramah publik, Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma menuturkan sosok STA dipilih dalam rapat para anggota untuk ceramah publik kali ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Seno Gumira Ajidarma, pemikiran STA mampu menantang ketika polemik kebudayaan terjadi dalam tiga tahap yakni Agustus sampai Oktober 1935, April 1936, dan Juni 1939.
"Pemikiran yang menantang itu menyeruak dari kepala seorang pemuda yang berusia 27 tahun. Meski masih muda, namun ia matang dalam keyakinan," kata Seno Gumira Ajidarma dalam STA Memorial Lecture yang digelar secara virtual.
STA menantang para tokoh di antaranya Adinegoro, Soetomo, sampai Ki Hajar Dewantara. "Perdebatan itu adalah perihal jalan yang harus dipilih oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemajuan," lanjutnya.
Dalam STA Memorial Lecture kali ini, Musdah Mulia dipandang punya kompetensi keilmuan yang sesuai dengan semangat dan pemikiran dari STA. Ia juga dianggap mampu menyegarkan pemikiran kebudayaan.
Musdah Mulia juga dikenal karena gagasan muslimah reformis untuk mengedukasi perempuan agar memiliki sikap kritis, integritas, dan spirituais. Guru besar UIN Jakarta ini juga merupakan aktivis pergerakan kemanusiaan yang vokal menyuarakan soal keadilan dan kesetaraan gender.
Dalam kuliahnya, Musdah Mulia mengatakan sosok STA adalah seorang guru baginya dan wawasannya terbuka untuk melihat dunia yang penuh dengan keindahan.
Menurutnya, STA mampu mengenalkan kebudayaan modern yang terdiri dari ilmu, teknologi, dan ekonomi. Ketiganya sejalan dengan cita-cita Islam.
STA pun mempertanyakan banyak hal termasuk persoalan agama. Di negara berkembang agama menjadi satu hal penting dalam berkehidupan.
"Seharusnya negara dengan penduduk yang lebih religius bisa lebih maju karena berpegang pada nilai-nilai spiritual. Kondisi ini juga berguna di kerja kebudayaan dan membangun peradaban lebih maju," tutur Musdah Mulia.
Saat ini yang terpenting, lanjut dia, adalah menguatkan literasi agama. Agama seharusnya menjadi penggerak perubahan untuk lebih baik lagi.
(tia/pus)