Budayawan Sindhunata meresmikan Museum Anak Bajang yang berdiri di Omah Petroek, Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, kemarin. Nama Museum Anak Bajang diambil dari figur dari novel Anak Bajang Menggiring Angin yang terbit pada 1981.
Pelukis Susilo BP yang melakukan tasfir atas karya pria yang kerap dipanggil Rama Sindhu itu. Dia membuat 25 lukisan yang berasal dari sekuel Anak Bajang Menggiring Angin yakni Anak Bajang Mengayun Bulan yang rilis secara bersambung dari surat kabar harian Kompas.
Susilo BP mengatakan novel Rama Sindhu ada 21 bab dan ditafsir menjadi 21 lukisan ditambah dengan drawing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus terang bukan teks yang saya tafsir tapi dari hasil obrolan dengan Rama. Dari awal, Rama membebaskan saya. Katanya, sekarang kamu melukis sebebas kamu. Menginterpretasikan cerita Anak Bajang secara menarik,' katanya.
Rama Sindhu mengatakan sejak 10 tahun lalu sudah tercetus ide Anak Bajang Mengayun Bulan. Kala itu, sudah berjumpa dengan pelukis Susilo BP.
![]() |
"Saya melanjutkan cerita (Anak Bajang Mengayun Bulan). Saya tanya ke dia, kamu sanggup nggak bikin lukisan dari sini. Saya semakin berfantasi dan mengerjakan secara simultan," kata Rama Sindhunata.
"Saya jadi total menggarapnya dan dia menggarap gambarnya sesuai apa yang dimau," sambungnya.
Menurut Rama Sindhunata, tafsir lukisan yang kini menjadi pameran seni tunggal berjudul Sukrasana itu menjadi sebuah kejutan yang indah.
"Dua orang mengerjakan dengan ekspresi yang berbeda. Punya ruang kegilaan dalam ekspresi masing-masing," tambah Sindhunata.
![]() |
Kurator pameran Suwarno Wisetromo pun menambahkan puluhan lukisan yang digarap Susilo BP disebutnya sebagai lukisan nakal.
"Dari yang tidak bisa dibayangkan menjadi bisa. Penguasaan realis yang bagus ditambah dengan adegan imajinatif. Cara memadukan antara orang dan wayang golek itu proses yang terus berlanjut dan menjadi khas yang masih ada sampai sekarang," ucapnya.
Nama 'Anak Bajang' yang dipakai untuk festival dan museum diambil dari nama novel Sindhunata yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin yang terbit pada 1981. Anak Bajang adalah sosok pewayangan yang menjadi tokoh sebagai representasi buruk-rupanya dunia saat ini.
"Figur Anak Bajang adalah abstrak dan untuk diri kita sendiri, tapi juga mengkritik kita habis-habisan sebagai manusia. Makhluk yang tidak sempurna mencoba menghayati nilai-nilai untuk mencapai ke sana walaupun tidak pernah dicapai hidup ini," pungkas Sindhunata.
(tia/dar)