Penumpang MH 370 yang Saya Jumpai
Inilah cerita pertama yang menghampiri Anda, Tuan dan Puan, pembaca yang baik hati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di musim pandemi Corona, di tahun 2021, bisa naik pesawat adalah hal yang saya rasakan istimewa. Anda tahu, tidak mudah proses untuk bisa dapat naik pesawat. Tidak asal punya uang saja. Harus dengan surat atau kartu sudah divaksin, pakai masker, face shield, rapid test dengan hasil harus negatif, dan tak alpa harus membawa hand sanitizer. Manusia jadi seperti zombi. Apa yang diimajinasikan dalam dunia film jadi terwujud: monster manusia bisa berjalan begitu lucu.
Di ruang tunggu pesawat, ada waktu bagi saya satu jam bersantai. Tidak jauh dari garis batas silang di sebelah saya ada seseorang juga duduk. Awalnya, saya melirik dia biasa saja, memandang sebentar. Tapi ingatan saya langsung bergejolak sebab begitu saya melirik sebentar dia sedang melepas masker dan face shield. Membenahi sesuatu, mengganti dengan masker baru.
Aduh, saya sempat bertatap mata dengan dia sebentar dan langsung saya ingat orang tersebut pernah saya jumpai di bandara Kuala Lumpur, Malaysia sekian tahun lalu. Saya tahu orang itu, saat itu menunggu pesawat MH 370 yang akhirnya hilang dicari oleh banyak negara di dunia. Dulu waktu di bandara Kuala Lumpur saya sempat mengobrol dengannya, sebelum akhirnya ia pergi lebih dulu dan naik pesawat MH 370. Sementara saya menanti pesawat lain.
Kini kaki saya lemas. Dingin merayapi tubuh saya yang berada di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Keringat berleleran namun sepertinya tidak ada satu pun orang yang tahu. Saya mau mengajak bicara dia sangat tidak enak, selain karena ada tanda jarak duduk juga karena dia sudah mengenakan masker dan face shield.
Apakah ini deja vu? Apakah ini benar? Bukankah pesawat MH 370 memang hilang dan seluruh negara di dunia berduka? Saya bingung ingin mengabadikan peristiwa ini dengan cara apa? Saya tidak bawa kamera, hanya ponsel saja. Sebenarnya bisa saja memotret dia dari jarak tertentu, pura-pura berjalan atau bagaimanalah. Tapi dengan dia mengenakan masker dan face shield, bagaimana meyakinkan orang lain bahwa dia adalah memang salah satu penumpang pesawat MH 370? Saya ingin seperti seorang jurnalis yang bisa memotret, misalnya ketika koruptor Gayus Tambunan yang katanya berada di dalam penjara ternyata bisa santai menonton tenis di luar negeri.
Sudahlah, saya sungguh kehabisan cara. Akhirnya waktu pun habis dan kini sayalah yang lebih dulu meninggalkan dia menuju pesawat. Mungkin beberapa menit lagi dia juga akan terbang dengan pesawat yang ditungguinya.
Siapa yang mempercayai peristiwa yang saya temui ini?
Ziarah Raffles
Inilah cerita kedua yang menghampiri Anda, Tuan dan Puan, pembaca yang baik hati.
Saya adalah istri keempat yang cerai dari seorang suami yang pernah saya cintai. Orang di sekitar saya, di sekitar dunia pergaulan saya, menyebut saya sudah jadi bangkai. Mirip bunga Rafflesia arnoldii yang kadang memang bisa menguarkan bau bangkai.
Sungguh sebutan itu membuat saya heran. Mereka tidak mengenal saya secara dalam namun bisa bergunjing seolah-olah tahu benar isi hati saya yang terpuruk. Merasa tak berarti, seperti bangkai. Anehnya pula, mereka tidak tahu kisah bulan madu saya bersama suami yang bercerai itu, namun sebutan bangkai berhasil mengingatkan saya pada kisah romantis yang pernah saya alami.
Dulu, saya dan mantan suami, memang bertemu di Bengkulu. Dia menyatakan ingin menikahi saya juga benar-benar di depan bunga Rafflesia arnoldii yang ditemukan oleh orang Inggris, Thomas Stamford Raffles itu.
"Usia kita terpaut lumayan jauh dan aku melihat kamu seperti bunga itu. Mekar indah."
"Tapi, bunga itu tak selamanya menarik. Kadang ia bisa menjadi tidak menarik karena baunya."
"Saya tahu. Semoga kita akan selalu bisa menyatu."
Itulah percakapan kenangan kami. Kini saya mengingatnya juga di depan bunga Rafflesia arnoldii yang saya rasakan seperti membuktikan adanya kutukan.
Sebagai bangkai hidup saya jelas telah menyandang status janda. Untung saja saya belum punya anak. Jadi ke mana-mana saya sudah cukup berbahagia dengan menjadi bangkai.
Saya pun terus menziarahi bunga Rafflesia arnoldii itu hingga tak terhitung jumlahnya dan selalu mengenang serta meyakinkan diri bahwa saya memang lebih layak menjadi bangkai.
"Aduh perasaan perempuan kalau sudah hancur maka akan semakin ia hancurkan sendiri. Ia kubur dalam-dalam," hibur seorang kawan melalui ponsel.
Barangkali saja benar apa kata kawan itu. Tapi memang pikiran saya belum berubah juga untuk tak menjadi istri seseorang lagi. Ke mana-mana lebih enak pergi sendiri menjadi bangkai gentayangan.
Ah, saya berkhayal, apakah orang-orang di sekitar saya memang bisa membaui bangkai yang tak sedap meskipun saya menggunakan parfum cukup bagus?
Hilangnya San Diego Hills
Inilah cerita ketiga yang menghampiri Anda, Tuan dan Puan, pembaca yang baik hati.
Apa beda kuburan biasa dengan San Diego Hills? Apakah hanya soal harga? Sampai menjadi mayat ternyata orang memang masih bisa mengenal gengsi. Itu gurauan kawan saya. Tapi mungkin memang ada benarnya.
Kuburan biasa, Anda tahu, suatu waktu bisa tiba-tiba lenyap. Mungkin saja dilupakan. Mungkin saja terkena bencana seperti tanah longsor dan entah apalagi.
Sampai pada kabar menghilangnya kuburan San Diego Hills yang kapling tanahnya cukup mahal itu, saya dengar di tahun 2040. Bersama seorang teman dan ke mana-mana saya menggunakan drone berisi maksimal empat orang, ketika melalui tempat yang dulu adalah kawasan San Diego Hills, ternyata sudah tidak ada.
Waktu itu, kawan saya yang ada dalam drone mau mencari kuburan seorang sastrawan hebat, Arswendo Atmowiloto. Dokumentasi satelit beberapa tahun sebelumnya menyatakan, dulu kawasan San Diego Hills memang terlihat nyata, namun kini dicari putar-putar di udara, sudah lenyap.
"Penyebab lenyapnya apa?" tanya saya.
"Itu yang belum saya pastikan, belum saya cek lagi di satelit.
Faktanya itu, lihat, sudah jadi bangunan reaktor nuklir."
"Wah menarik itu, jangan-jangan isi bangunan reaktor nuklir itu banyak hantunya."
"Hahaha...Tiba-tiba tertulis di dinding sebuah sajak karya Arswendo Atmowiloto."
"Ah, jangan dibuat bercanda. Cucu atau cicitnya bisa marah dan tersinggung."
"Mana tahu mereka?"
"Oh iya ya."
"Arwah Arswendo Atmowiloto apa mungkin juga marah? Orangnya saja suka senyum arwahnya bisa saja lebih suka tertawa. Hahaha...."
"Terakhir saya lihat di satelit generasi manusia pasca-corona memang sudah berubah. Wataknya, gaya hidupnya, kebiasaannya. Banyak yang suka senyum sendiri di rumah di depan gadget dan terbawa kalau keluar rumah. Rupanya mereka tercuci otak dengan hiburan gadget."
"Nanti dicari betul ya kapan San Diego Hills mulai hilang. Sebelum jadi bangunan reaktor nuklir itu apakah terkena bencana?"
"Jangan-jangan pernah kena banjir juga, ya? Lalu tanahnya bisa diambil alih jadi kawasan bangunan reaktor nuklir."
"Pokoknya dicari!"
"Oke sampai di sini pertemuan kita. Sampai jumpa."
Itulah perjumpaan saya dengan obrolan bersama seorang teman dalam drone yang tentu saja bisa terbang seperti helikopter atau pesawat. Memang sebelumnya saya jemput dia di halaman rumah, saya ajak berkeliling Jakarta sambil makan siang di dalam drone, lalu saya pulangkan lagi.
Diam-diam saya merasa jengah juga dengan obrolan soal kuburan yang hilang. Tapi di zaman drone dan satelit yang sudah begitu familiar digunakan orang, pembicaraan seperti itu justru bernilai cukup etis.
Percaya?
Syal Terakhir Sebelum ke Mars
Inilah cerita keempat yang menghampiri Anda, Tuan dan Puan, pembaca yang baik hati.
Penelitian bahwa planet Mars nyaman dan aman untuk dihuni manusia mendapatkan kepastian seratus persen. Dipastikan juga bahwa virus corona hingga tahun 2045 tidak hilang dari muka planet Bumi. Manusia mati satu per satu karena corona, perlahan-lahan. Karena banyak yang work from home maka keturunan juga masih selalu ada, tak terhindarkan. Yang mati secepatnya digantikan dengan yang lahir di masa corona itu. Begitu seterusnya.
Pada 2045 pun armada untuk mengusung manusia pindah ke planet Mars sudah ada. Seperti pesawat airbus. Maka diseleksi secara serius yang harus pindah ke Mars dan membangun peradaban baru di sana. Rasanya mungkin sama seperti transmigrasi. Sejumlah negara yang mampu membawa rakyatnya ke Mars cukup banyak juga. Meskipun banyak pula negara yang menyatakan bangkrut dan membubarkan diri, membiarkan rakyatnya entah hidup entah tidak. Karena memang kemampuan negara tertentu pasti ada batasnya dan bisa menyatakan dirinya gagal atau membubarkan diri dengan alasan apa pun.
Saya cukup beruntung karena termasuk warga yang masih mempunyai negara. Negara yang saya diami pun menyatakan masih mampu mengevakuasi warganya ke planet Mars.
Besok adalah hari terakhir saya berada di Bumi karena bersama beberapa warga lain akan diterbangkan ke Mars. Sebagaimana kesukaan saya bepergian ke mana-mana menggunakan drone, saya selalu mengenakan syal. Setidaknya supaya saya tidak begitu kedinginan di dalam drone atau jika saya memutuskan jalan-jalan turun dari drone, misalnya di kawasan sawah atau pinggir pantai, juga merasa lebih nyaman. Entah kenapa perasaan saya sudah begitu menyatu dengan syal sehingga seperti pasangan hidup, menemani ke mana pun saya pergi.
Memang dibandingkan punya pasangan hidup saya lebih suka ditemani syal. Lebih meneduhkan, terasa hangat di dalam perasaan saya. Tidak mungkin berontak dan tidak akan mungkin ada percekcokan. Sialan, untuk urusan perasaan, di tahun 2045, ternyata tetap sama dengan sekian puluh tahun sebelumnya. Bisa sentimentil. Peradaban bisa maju karena teknologi, perasaan manusia tetap saja tak ada perubahan yang berarti.
Untuk pindah ke Mars, saya hanya perlu menyiapkan bahan makanan selama seminggu. Setidaknya untuk adaptasi awal di sana. Selebihnya, negara sudah bertanggung jawab memenuhi hajat hidup warga di Mars.
Lalu waktu tinggal sehari meninggalkan Bumi saya gunakan untuk apa? Pesan pemerintah saya tak boleh pergi-pergi sebab bisa terkena corona padahal saya sudah dipastikan terekomendasi ke Mars. Tentu saya tidur-tiduran saja di rumah sampai besok berkumpul di suatu tempat untuk pergi ke Mars.
Ketika keesokan hari saya bersiap ke Mars, saya pandang sekeliling. Ternyata pesawat yang saya tumpangi adalah generasi terakhir manusia di muka Bumi yang menuju Mars. Saya mendekap erat syal setelah ada di dalam pesawat menuju ke Mars. Dengan perasaan penuh ikhlas meninggalkan bumi dan drone yang sehari-harinya membawa saya pergi.
Dari dalam pesawat saya tetap bisa memandang Bumi melalui kaca dan pesawat pun terbang dengan nyaman. Perasaan saya penuh rasa haru, setitik air mata menetes, membasahi syal yang saya kenakan.
"Tidak lama lagi pesawat akan mendarat di Mars. Selamat datang di Mars," ujar salah seorang pramugari memberikan keterangan soal perjalanan yang bagi saya sungguh mengesankan.
Saya begitu penasaran, seperti apa sebenarnya Mars? Anda, para pembaca yang baik hati dan telah mendahului saya sampai di Mars, bisakah memberikan jawaban yang menggembirakan?
Satmoko Budi Santoso sastrawan, tinggal di Yogyakarta. Buku terbarunya antologi esai sastra berjudul Ritual Karnaval Sastra Indonesia Mutakhir (Basabasi, Agustus 2020)
(mmu/mmu)