Maestro dalang Ki Nartosabdo kembali dikenang dengan monumen yang berdiri dekat dengan alun-alun Kota Semarang. Pemrakarsanya yaitu salah satu murid Ki Nartosabdo yaitu Jaya Suprana.
Lokasi monumen setengah badan Ki Nartosabdo berada di Jalan Pemuda persimpangan antara alun-alun dan jalan menuju Kota Lama Semarang, atau tepatnya di depan Hotel Metro.
Ki Nartosabdo merupakan maestro kelahiran Klaten, 25 Agustus1925 dan meninggal di Semarang, 7 Oktober 1985. Ia juga menciptakan lagu atau gendhing terkenal antara lain yaitu Caping Gunung, Gambang Suling, Prahu Layar dan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdirinya monumen tersebut merupakan ide dari Jaya Suprana sebagai salah satu murid. Namun hari ini ia tidak hadir dan diwakili oleh Dirut Jamu Jago, Ivana Suprana yang membacakan sambutan dari Jaya Suprana.
"Insya Allah peresmian monumen Ki Nartosabdho merupakan langkah awal perjalanan panjang warga Semarang bersama seluruh warga Indonesia menobatkan Ki Nartosabdo sebagai pujangga musik menjadi Pahlawan Nasional sama halnya dengan Ismail Marzuki sebagai pujangga musik telah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional," kata Ivana membacakan sambutan Jaya Suprana di lokasi peresmian, Selasa (30/3/2021).
Pemerintah Kota Semarang dalam hal ini bekerja sama terkait lokasi. Sekda Kota Semarang, Iswar yang mewakili Wali Kota Semarang mengatakan lokasi yang dipilih merupakan tempat yang baik karena merupakan lokasi wisata yang baik dimana ada Kota Lama dan alun-alun Kota Semarang.
"Kita melihat kawasan ini bersejarah. Alun alun Semarang kota, berharap denngan penanda ini sebagai pengungkit kembali ini kawasan bersejarah yang dulunya the best di kota semarang. Kejayaan itu akan kita kembalikan," kata Iswar.
Dalam peresmian tersebut hadir juga pihak keluarga Ki Nartosabdo, Dhanang Respati Puguh dan Jarot Sabdho. Dhanang mengatakan dalam ingatannya Ki Nartosabdo mengenal Jaya Suprana sekitar tahun 1980 ketika beberapa kali datang ke kediaman di Semarang untuk bertanya soal Gamelan.
![]() |
"Saya mungkin masih SMP waktu itu, awal 80-an. Kemudian sebagaimana disampaikan, pak Jaya Suprana pernah datang untuk belajar tabuh gamelan. Kemudian di dalam pertemuan itu terjadi perbincangan," kata Dhanang.
Kemudian keduanya semakin dekat dan Jaya Suprana juga sempat mengadakan acara yang didedikasikan untuk Ki Nartosabdo di Kota Semarang.
"Saat pentas di wisma Pancasila sekarang Matahari, kebetulan aaya berangkat ke sana mendampingi pak Narto. Seingat saya pentas itu untuk sang guru," ujarnya.
Ia selaku pihak keluarga mengucapkan terimakasih terkait berdirinya monumen tersebut. Patung tersebut menjadi monumen kedua di Kota Semarang, sebelumnya ada monumen di Taman Budaya Raden Saleh Semarang.
"Kami mewakili keluarga mengucapkan terimakasih kepada Pemkot dan masyarakat yang diwakili budayawan. Jadi sebuah simbol penanda bagi satu memori kolektif yang harus diingat masyarakat Semarang. Di Kota ini pernah tumbuh dan berkiprah seorang seniman yang melegenda," ujarnya.
Sementara itu pimpinan proyek pembuatan monumen tersebut, Yeha mengatakan monumen terdiri dari patung setengah badan serta penopangnya dengan total tinggi 4 meter.
"Ini dikerjakan selama satu bulan, yang membuat Sugito dari Juwana Pati. Beratnya sekitar 100 kilogram. Kalau tingginya kalau patungnya saja 170 cm, kalau sama bawahnya 4 meter. Ini sumbangan pribadi pak Jaya Suprana," kata Yeha.
(alg/doc)