Grup Keluarga

Cerita Pendek

Grup Keluarga

Maya Sandita - detikHot
Sabtu, 24 Okt 2020 12:38 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Ita tidak kasih tahu Ibu kalau dia akan menikah?"

"Tidak. Kapan Ita akan menikah?"

"Jumat depan."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Memang sama saja dengan bapaknya."

"Maksud Ibu?"

ADVERTISEMENT

"Tidak tahu diuntung! Tidak kaya saja sombong. Masak harus kita yang nyembah nanya ke dia kapan mau nikah?"

Obrolan sampai di situ saja. Yang dipanggil 'Ibu' beralih ke ponsel pintar di tangannya. Seketika ia asyik mengetik sesuatu. Sementara seseorang lain yang duduk di hadapannya jadi melirik ponsel yang berbunyi tiap sebentar - itu miliknya. Pesan masuk di grup keluarga sebentar saja jadi hampir seribu. Sepertinya di sana ada obrolan yang lebih seru.

Whatsapp, sebuah aplikasi yang menyatukan apa yang tak bisa didekap, mendekatkan apa yang sesungguhnya tidaklah begitu akrab. Siapa saja bisa tertawa dalam pesan teksnya padahal tak begitu di bibirnya. Siapa saja bisa terbaca sedang menangis sejadi-jadinya padahal setetes pun airmatanya tidak ada. Tidak jauh berbeda dengan media sosial lain yang semakin banyak saja jenisnya dari masa ke masa. Tapi media yang satu ini bisa membuat hidup seseorang berbeda.

Satu bulan berlalu sejak keluarga Herdi, kekasih Ita, datang ke rumah bersama sang ayah. Lamarannya sah diterima keluarga Ita. Mereka akan melangsungkan pernikahan September ini.

Dalam adat yang berlaku di keluarga Ita, ia mestilah mengabari kedua belah pihak keluarga --dari ayah dan ibunya tentu saja. Tapi ternyata perkara ini tak bisa semulus yang ia sangka.

"Minggu depan hari pernikahanmu, Ta. Kamu sudah hubungi om dan tante dari keluarga bapak?"

"Beberapa sudah, Bu. Lainnya belum. Kemarin Ita telepon nomor mereka tidak aktif. Lagi pula Ita juga sibuk memilih penata rias, memilih gaun, dan dekorasi yang nanti akan dipakai. Sangat menghabiskan waktu, Bu. Sebisanya Ita akan coba menghubungi mereka kembali."

"Atau Ibu sajalah yang menelepon?"

"Tidak usah, Bu. Nanti kata mereka lain pula. Nanti dikira Ita yang sombong sebagai anak."

Sebetulnya sang ibu pun tak kalah repotnya waktu itu. Menyambangi rumah tetangga satu per satu juga membuat lututnya linu. Sampai di rumah nanti ia akan langsung mengganti baju, berbaring, lantas tertidur di atas tilam. Di mana lagi waktunya untuk sibuk dengan telepon genggam.

Sementara itu, pesan-pesan tak berhenti sejak malam sampai pagi. Seseorang yang tadi masih duduk di depan ibunya yang masih juga asyik berbalas pesan di grup.

"Bu, Sherin ke kamar dulu," katanya lantas berlalu.

Sang ibu mengiyakan --tak tertarik untuk menahan.

Di kamar, Sherin membaca seluruh percakapan yang terjadi di grup keluarga. Ia menemukan betapa Ita tak berarti apa-apa di mata keluarga besar ayahnya.

"Saya sebagai kakak tertua dari ayahnya mestinya ditelepon, dong! Kalau nomor telepon biasa tidak aktif, kan bisa cari sana-sini. Saya sih kalau dia tidak telepon, saya tak mau telepon duluan. Memangnya dia siapa? Mau didewakan, begitu? Bapaknya saja dukun kok anaknya mau dielu-elukan."

Itu pesan dari Tante Zara. Ia sulung dalam keluarga dan yang paling kaya. Tidak ada satu pun yang berani melawan kata-katanya. Semua patuh, takut, dan tak berdaya. Termasuk saat anak perempuan Tante Zara dinikahkan di masa kandungannya yang tiga bulan. "Berani kalian bongkar perkara, jangan anggap sepeser pun dari dompetku bisa kalian raba!"

Tante Zara sangat gila kehormatan. Ia sangat senang dipuji dan dielu-elukan. Anin, ibu Sherin, sering melakukannya jika butuh biaya bayar kontrakan atau bayar cicilan sedan. Tante Septi juga begitu, Om Rayan, Om Milad, juga Om Tohir --ayah Ita. Tapi sudah dua tahun belakangan ini Om Tohir dikeluarkan dari grup keluarga. Ia tak mau ditunjuk-ajari oleh kakak sulungnya.

Om Tohir sekarang bekerja sebagai paranormal yang lumayan ternama. Dulu ia adalah seorang penjual nasi goreng biasa sebenarnya. Perceraian dengan Tante Nayu, ibu Ita, cukup membuatnya terpukul dan mengubah karakternya. Perjalanan panjang ia lewati sampai akhirnya Om Tohir jadi seperti sekarang ini.

"Kau gila, Tohir! Paranormal itu sama dengan dukun. Kau kafir! Musyrik! Menduakan Allah! Tobatlah, Tohir! Sebelum malaikat yang bikin hidupmu berakhir!" Begitu kata Tante Zara padanya.

"Oh, aku musyrik dan kafir? Lalu kakak disebut apa? Seseorang yang lalai menjaga anak perempuannya, menikahkannya karena hamil di luar nikah, dan bersikap seolah-olah paling bersih? Itu apa namanya?" Om Tohir naik darah.

Percakapan mereka panas sekali di grup keluarga. Selang beberapa saat saja, admin mengeluarkan Om Tohir dari sana. Admin panas hatinya membaca perkara lima tahun lalu yang diungkit pamannya. Admin grup keluarga itu adalah anak Tante Zara, namanya Risa.

Setelahnya Sherin hanya dapat kabar tentang Om Tohir, Tante Nayu, dan anak-anaknya dari media sosial yang lain. Begitupun dengan kabar pernikahan Ita yang akan berlangsung bulan September pekan kedua.

Sherin hampir seusia dengan Ita. Dengan begitu, menurutnya tak masalah untuk bertanya lebih dulu.

"Calon suami Ita orang mana?" tanya Sherin lewat Messenger.

Dari tempat yang lain, Ita cukup terkejut mendapat pesan dari saudaranya.

Sebelum menjawab, ia sampaikan dulu soalan lain pada Sherin.

"Assalamualaikum, Sherin. Lama tak berkabar, ya. Semoga kamu di sana sehat saja. Susah payah mencari kontak keluarga besar ayah satu per satu. Oh iya, minggu depan datang ya ke resepsi pernikahanku. Calon suamiku orang kampung sebelah, Rin."

Sherin menemukan jawabannya, Ita bukan orang yang menganggap remeh hubungan keluarga. Sudah barang tentu susah mencari kontak keluarga ayah yang sepuluh tahun terpisah. Waktu itu Ita kecil tentu belum punya ponsel pintar. Di mana akan ia simpan kontak seluruh anggota keluarga besar. Semenjak berpisah, ayahnya tak ada kabar. Ita tak bisa disalahkan begitu saja. Lantas Sherin berusaha menemukan sebuah cara. Ia mengirim pesan ke grup keluarga.

"Wah! Tidak usah, Rin! Tidak asyik kalau ada orang asing," balas Risa.

"Orang asing bagaimana? Ita kan juga saudara kita." Sherin tak mau mengalah begitu saja.

"Nanti apa-apa yang kita bicarakan di sini malah dikasih tahu ke ayahnya. Bisa-bisa disantet kita!" sambung Om Rayan mendukung Risa. Kemudian berbalasan tawa demi tawa.

"Maksud Sherin, setidaknya itu mempermudah Ita untuk mengabari kita tentang apa saja. Pernikahannya yang minggu depan, misalnya."

"Yang kasih kamu makan si Ita ya, Rin? Kok repot-repot nolongin dia?" Ibu Sherin membalas. Padahal tubuh ibunya nyata sedang duduk di hadapan Sherin dengan ponsel yang sejak pagi tak ia lepas.

Tidak seorang pun yang membela Sherin. Sebagian menolak menggabungkan Ita ke grup keluarga. Sebagian lain hanya membaca saja, diam, dan tak mau angkat bicara.

Lalu, selang beberapa saat saja, Risa mengirim pesan pribadi pada Sherin,

"Kalau tetap bersikeras dengan maumu itu, kamu mau keluar sendiri dari grup, apa dikeluarin?"

Sherin tak membalas. Baginya Risa bukanlah lawan debat yang pantas dan cerdas. Maka ia memilih menelepon Ita. Menanyakan alamat rumah.

Selama sepekan menjelang resepsi pernikahan, grup keluarga Sherin abaikan. Baginya keluarga tak perlu dikelompok-kelompokkan. Baginya keputusan Om Tohir tak semestinya jadi karma yang pada anaknya mesti ditumpahkan.

Tepat di hari itu, pada pekan kedua bulan September yang sendu dan nyaris beku, sebab tak ada Om Tohir di situ, Sherin tiba di hari resepsi, seorang diri. Ia kadokan sejarik kain. Sebab Ita adalah saudaranya. Bukan orang lain.

Batam, 02 Agustus 2020

Maya Sandita sutradara, aktor, dan penulis; alumnus prodi Seni Teater ISI Padangpanjang (2019), tergabung dalam Teater Ode Batam

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads