Seniman dan Budayawan Butet Kartaredjasa mengungkapkan uneg-uneg ketika bertemu Menkopolhukam Mahfud MD di Yogyakarta. Dia berharap pemerintah tidak menganggap sebelah mata seniman dan membeli karya dengan dana BLT dibanding memberikannya cuma-cuma.
"Tadi ada yang menyinggung saya soal kunjungan ke istana. Nah, saya mau wadul (mengadu) kepada Menkopolhukam (Mahfud MD), karena derajatnya lebih tinggi dari Menteri toh," katanya di sela-sela acara temu seniman dan budayawan Yogya di Warung Bu Ageng, Jalan Tirtodipuran, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Sabtu (29/8/2020).
Dia kecewa dengan salah satu menteri yang memaknai seniman adalah orang yang harus terkenal dan kerap tampil di televisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi saya kemarin terus terang pak Mahfud rodo kecewa, kemrucut kemarin di depan pak Jokowi bilang asu saya, tapi tidak apa-apa," ucapnya.
"Jadi saya agak sedih ketika seorang menteri itu memaknai seniman hanyalah orang-orang populer yang wajahnya sering muncul di televisi," imbuh Butet.
Selain itu, dia kecewa dengan Menteri Parekraf RI karena menganggap dengan memberi BLT kepada para seniman di tengah pandemi mampu menyelesaikan masalah. Padahal seniman memerlukan pengakuan daripada bantuan cuma-cuma.
"Nah, yang membuat saya sedih itu ketika kemudian setelah pertemuan itu saya tanya kepada menterinya. Apa kira-kira yang akan dilakukan Kemenparekraf itu," katanya.
"Beliau menjelaskan kepada saya bahwa dia sudah mengumpulkan 40 ribu data seniman yang akan segera mendapatkan BLT, sumbangan. Terus saya tanya, loh itu kan....sudah saya alihkan ke Kemensos, penjelasannya seperti itu," imbuh Butet.
Mendengar jawaban itu, Butet mengaku langsung menimpalinya. Dia menilai seniman adalah profesi yang membutuhkan kebanggaan tersendiri dalam menjalaninya.
"Saya bilang, bung ini bukan masalah orang yang berprofesi seniman menerima bansos. Ini masalah sebuah profesi yang membutuhkan kebanggaan," ujarnya.
![]() |
"Anda mestinya bisa menggunakan dana sosial kepada seniman tolong dikemas sebagai kehadiran negara menghargai karya-karya seni. Saya bilang ke dia kalau para perupa dan orang-orang sastra itu orang-orang yang tidak mengharuskan dan diharuskan wajahnya dikenal publik melalu televisi, padahal nama-nama dia nama kelas internasional dan hari ini tiarap semua," lanjut Butet.
Menteri itu pun melontarkan pertanyaan kepada Butet. "Terus apa maunya mas Butet?," ucapnya.
"Tolong umpamakan Kementerian anda itu bikin pameran seni rupa, daring, tapi karya itu dibeli, dibeli oleh negara lewat uang bansos. Jumlahnya mungkin sama nggak mengganggu anggaran tapi bagi seniman itu kan semacam kehadiran negara dan pengakuan negara terhadap karya seni mereka," kata Butet menjawab pertanyaan menteri itu.
Selanjutnya, menteri itu menanyakan fungsi dari membeli karya seni tersebut. Butet menyebut karya yang dibeli dengan bansos punya banyak manfaat.
"Loh, kantor-kantor pemerintah itu kan dinding-dindingnya perlu diisi elemen interior, Ibu Kota negara yang baru ruang-ruang itu perlu ada lukisan. Penyair-penyair bisa didorong buat puisi-puisi dibayar oleh negara, nilainya sama dengan bansos yang akan anda berikan," katanya
"Itu bagi seniman lebih punya makna daripada anda membagi-bagi (bansos) kepada seakan-akan ini para penganggur yang perlu ditolong," ucapnya.
Butet menambahkan, mendengar penjelasannya itu sang menteri lantas memberikan penjelasan. Namun penjelasan itu tidak membuat Butet puas.
"Lalu jawabannya standarlah menteri, problem birokrasi bla bla bla. Terserah, saya hanya menyarankan kepada yang punya jabatan kekuasaan berpikirlah yang agak kreatif, saya agak marah saat itu. Makanya saya mengadu ke Pak Mahfud kan menko, lebih tinggi derajatnya," imbuh Butet.
Menanggapi hal tersebut, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, salah satu usul atau pendapat, seperti Butet adalah bagaimana kebijakan pemerintah dalam memberi kebanggaan kepada seniman. Tidak hanya didata lalu diberi santunan BLT tapi diberi kebanggaan dan dihargai karyanya.
"Kemenparekraf, punya dana besar untuk seniman titipkan Kemensos. Sulit di birokrasi kata menteri, itu persoalannya. Birokrasi kita dulu saat Orde Baru itu kan ditata kalau keluarkan uang harus jelas sehingga kerjakan seperti itu terhambat," katanya.
(tia/tia)