Jakarta -
Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2019 kembali digelar 21-23 November 2019. Salah satu rangkaian kegiatan BWCF dilangsungkan di Gereja Ayam Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yakni seni pertunjukan.
Dalam BWCF 2019 ini mengangkat tema Tuhan dan Alam. Adapun kegiatan dilaksanakan di Jogja dan Borobudur, Magelang. Kemudian, untuk BWCF tahun ini bertepatan dengan Sewindu BWCF, mengenang Zoetmulder.
Kurator BWCF, Romo Mudji Sutrisno. (Eko Susanto/detikcom) |
Salah satu kurator BWCF, Romo Mudji Sutrisno mengatakan, sekarang sewindu BWCF, visi awalnya untuk memberikan nilai kebudayaan dari Borobudur bukan pariwisata. Untuk itu, sejak awal sampai sekarang tahun kedelapan dengan memberinya dengan manuskrip, mengolah dari khazanah-khazanah yang ada di nusantara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya tahun lalu membaca Gandawyuha. Itu adalah jalan bakti, jalan dharma sampai pada pemberian diri pada semua orang yang itu ada dalam relief Borobudur. Tahun ini, kita memperingati sekaligus Romo Zoetmulder untuk menunjukkan bahwa ini lho Indonesia dibangun kemodernan dibangun dari seluruh religiusitas dari seluruh khazanah nusantara yang paling dalam, manuskrip dan teks-teks kuno itu sendiri," ungkap Romo Mudji.
"Jadi, zaman diteliti oleh Zoetmulder itu sebagai wiku itu. Kita sudah tahu sekali bahwa Indonesia ini pada eranya sudah dibuat dalam pencarian untuk menjadi bangsa ini, kekuatannya ada pada religiusitas, pada keimanan yang didalami itu sendiri dan ini musti dibuat dengan lengkap sekali," katanya belum lama ini.
Dalam BWCF acaranya antara lain simposium, ceramah, workshop dan pertunjukan/malam sastra. Untuk Seni Pertunjukan berlangsung di Rumah Doa Bukit Rhema atau yang dikenal dengan Gereja Ayam. Dengan memanfaatkan ruangan yang ada di Gereja Ayam tersebut dijadikan sebuah ruang pertunjukan. Untuk Seni Pertunjukan dibacakan sajak dan puisi antara lain oleh Abdul Hadi, D Zawawi Imron, Nirwan Dewanto dan Godi Suwarna.
 Suasana pembacaan sajak oleh Abdul Hadi dalam rangkaian BWCF 2019 di Gereja Ayam Borobudur. (foto: Eko Susanto/detikcom) |
Untuk Abdul Hadi, ia membacakan tiga sajak yakni berjudul Tuhan Begitu Dekat, Timur dan Barat serta Meditasi. Ia berharap, pada generasi milenial ini juga mempelajari manuskrip-manuskrip Jawa yang ada. Bahkan, ia menyarankan untuk dibuat digital.
"Ya dipelajari, dibikin digital," kata kepada wartawan usai membaca sajak.
Menyinggung keberadaan anak-anak sekarang terkait dengan manuskrip Jawa, kata dia, anak-anak sekarang harus diajarkan bahasa daerah dengan tulisannya. Untuk itu, Bahasa Jawa diajarkan mulai dari awal sebagai bahasa, bukan hanya sebagai bahasa percakapan.
"Anak-anak sekarang tinggal dipelajari bahasa daerah, dipelajari dengan tulisannya itu. Kalau kita, penganjaran modern menjauhkan kita dari sana, jadi jangan disalahkan anak didik kita, tapi bagaimana lembaga pendidikan itu menanamkan. Menanamkan itu kan prosesnya banyak, Bahasa Jawa diajarkan mulai dari awal sebagai bahasa, bukan hanya sebagai bahasa percakapan, tapi juga bahasa mengarang," ujarnya.
"Bisa mengarang nggak anak-anak Jawa sekarang dengan Bahasa Jawa, anak Madura dengan Bahasa Madura, kalau bisa, itu baru bisa mempelajari naskah-naskah lama. Kalau naskah lama cuma dipajang begini yang meneliti orang asing, kita dicekoki oleh orang asing karena orang asing itu, mainnya itu, jiwanya itu berbeda dengan mindset kita," tuturnya.
" alt="Saat Gereja Ayam Dijadikan Tempat Seni Pertunjukan" class="p_img_zoomin" />Para pembaca puisi dan sajak serta pengisi acara Seni Pertunjukan dalam BWCF di Gereja Ayam Borobudur berfoto bersama. (foto: Eko Susanto/detikcom) |
Berbeda pula dengan Godi Suwarna. Ia yang membacakan puisi menggunakan Bahasa Sunda. Sekalian audien yang berbeda, namun para audien bisa memahami puisi yang dibacakan tersebut. Ia membacakan tiga mantra atau puisi antara lain mantra main facebook, mantra membuat status dan mantra mencari kuota.
"Saya bacakan puisi mantra seperti itu kan menyambung dengan milenial dengan adik-adik sini, teman-teman sini bahkan dengan salah satu Bahasa Sunda, tapi komunikatif. Ya mungkin bagaimana caranya bisa menciptakan itu supaya lebih digemari lagi," tuturnya.
"Jadi dengan bahasa mereka, dengan topik-topik mereka, dengan persoalan-persoalan mereka, ya akhirnya bisa nyambung seperti itu. Tadi kan mantra-mantra diluar serius-serius, saya lebih ngambil ke humornya ada, ada kritiknya juga sebetulnya di mantra-mantra itu," tutur Godi.
"Jadi menggelitik mereka itu, jadi cukup tertarik ternyata, pada hal saya Bahasa Sunda, ternyata bisa komunikatif. Ya tentu saja, saya terbiasa baca puisi bukan audiennya orang Sunda, jadi sedemikian rupa saya buat akting, intonasi, bagaimana gitu ya nyambung juga," ujar dia.
Ia juga menyebutkan, jika di Jawa Barat sekarang para generasi milenial mulai belajar membaca huruf Sunda. Huruf Sunda yang dibaca ini kuno.
"Apalagi kalau gurunya kreatif misalnya nulis surat cinta atau apa. Kalau dulu zaman saya senangnya, kita bisa mengirim surat sama pacar, mungkin kalau dibangunkan hal-hal semacam seperti itu mungkin. Atau dibikin game atau apa," ujar dia.
Halaman Selanjutnya
Halaman