Si marmut berusaha mengendus sisa makanan yang mungkin saja berserak di kandangnya. Tapi, ia tak menemukan apa-apa selain rasa lapar yang makin menjadi-jadi dan kesunyian yang berbahaya. Ia sadar hidupnya bergantung sepenuhnya pada pemuda kurus itu. Jika hari ini ia tak datang, tamatlah riwayatku, pikir si marmut. Untung saja, dalam tempat minumnya masih ada banyak air. Jadi untuk sementara waktu si marmut dapat menandaskan rasa laparnya walaupun dengan cara yang sangat ia benci: minum sampai kembung.
Setelah berhasil menahan rasa laparnya, si marmut menggigiti jeruji kandang, berharap pemuda kurus itu atau siapa pun mengetahui keadaannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alfin memutuskan untuk pulang. Namun, saat ia hendak mengemas barang-barangnya tiba-tiba hujan turun. Alfin mendongak dan ia melihat gumpalan awan mendung yang menyelimuti langit itu, lalu membayangkan kabut yang senantiasa turun di desa tempat tinggalnya. Kabut itu muncul tiap sore pada musim penghujan dan akan membuat dunia seperti berada dalam pusaran mendung bila bercampur dengan petang. Dulu Alfin takut pada kabut itu, karena ia selalu merasa ada yang mengintainya diam-diam. Tapi, sekarang ia justru merasa rindu pada kabut itu dan segala kemuraman yang melayang bersamanya.
Tatkala Alfin sedang menikmati hujan, datanglah seorang lelaki berbadan tambun yang membawa sepiring gorengan. Ia duduk di depan Alfin dan dengan wajah mencibir berkata, "Daripada kau melamun, lebih baik santaplah gorengan ini. Sekalian biar badanmu yang sudah seringan kapas itu bisa jadi sedikit lebih berat."
"Hai, Galih!" Alfin menyambut lelaki tambun itu dengan sumringah. "Kau ke mana saja selama ini? Kamarmu tak pernah kau urus."
"Sedang malas ke kos," kata Galih sembari menjejalkan bakwan ke mulutnya.
"Terus kuliahmu gimana?"
"Jangan membicarakan yang tidak perlu!"
"Tapi kau nyaris dropout, tolol!"
"Bukan urusanmu, dan lagi pula sudah lama aku merasa bosan dengan hidupku yang begini-begini saja," kata Galih.
Alfin menuang teh pocinya ke dalam gelas tanah liat, lalu meletakkan beberapa potong gula batu di dalamnya. Ia hirup teh itu dan tersenyum. Ia selalu menyukai aroma teh di kedai langganannya ini.
"Kau sedang apa di sini, Fin? Mengerjakan skripsi?" tanya Galih.
"Tidak juga," Alfin menggeleng.
"Terus kenapa kau menyuruhku kemari? Untung aku tadi sedang dalam mood bagus waktu kau telepon. Ah, pasti soal menulis. Kau ingin aku membaca tulisanmu dan menanggapinya. Kuberitahu kau, Fin, menjadi penulis sama sekali tidak istimewa," cibir Galih. "Semua orang bisa bercerita dan menulis. Lihat saja di media-media sosial. Orang saling berbagi nasibnya. Cerita-cerita mereka lebih menarik dari yang kau tulis. Kujamin!"
"Huh, tidak penting!" dengus Alfin. "Setidaknya aku berusaha melakukan sesuatu supaya hidupku tidak sia-sia. Soal apakah aku akan menjadi penulis atau tidak, itu di luar kuasaku. Biar Tuhan yang mengatur nasib."
Galih tertawa mendengar nada suara temannya yang menunjukkan ketersinggungan itu, "Aku cuma bercanda, Fin. Jangan dibuat serius. Kau tahu aku selalu mendukungmu, teman. Lagi pula, nasibmu saat ini jauh lebih baik daripada nasibku."
"Kau harus berhenti datang ke tempat itu dan mulai memperbaiki hidupmu," kata Alfin. "Kau hanya menemukan kesenangan semu di sana."
"Kau salah besar, di sana aku bebas menentukan nasibku. Di tempat itu semua orang punya kesempatan yang sama asal mereka mau berusaha," timpal Galih.
"Jangan konyol," kali ini giliran Alfin mencibir. "Kau hanya lari dari masalahmu. Dengan terus-terusan menghabiskan waktu di sana, kau tidak akan pernah bisa mengubah apa-apa."
"Kau tak mengerti, Fin."
"Baik, terserah kau saja! Yang penting urus marmutmu," Alfin menatap Galih dengan raut muka serius. "Hidupmu boleh hancur, tapi jangan merugikan makhluk lain. Untuk itulah aku menyuruhmu datang kemari!"
Galih pun terdiam.
"Kau sudah memutuskan untuk membeli hewan itu, setidaknya bertanggungjawablah!" ucap Alfin. "Masa bodoh dengan kamarmu yang serupa tempat sampah itu atau nasibmu yang sial atau kegemaranmu yang egois. Aku cuma minta satu hal, urus peliharaanmu itu!"
***
Kamar itu gelap dan berbau sengak. Ada, setidaknya, dua lusin botol berisi air kencing manusia yang diletakkan di belakang pintu. Plastik bekas jajanan atau mie instan berserakan tak keruan nyaris memenuhi ruangan. Sedang tempat sampahnya penuh dengan makanan-makanan sisa yang telah busuk dan berjamur. Tisu-tisu yang digunakan untuk mengelap hasil kegiatan merancap bertebaran di atas kasur. Tepat di sebelah kasur ada sebuah lemari pakaian yang bagus dan mengilap, kontras dengan kondisi tempat itu. Di atasnya terdapat kandang besar dengan jeruji besi yang telah dicat putih, sementara tatakan bagian bawahnya berwarna hijau muda.
Si marmut kini memilih berdiam diri di dalam roda mainannya. Menunggu nasib baik datang tanpa bisa melakukan apapun. Ia sudah tak punya cukup tenaga untuk menggigiti kandang atau membuat keributan lain agar ada manusia yang tahu keberadaannya. Selama ini toh percuma melakukan itu. Bukan karena tak ada yang mendengar, melainkan tak ada yang peduli. Si marmut, dalam upayanya bertahan hidup, telah melihat belasan siluet manusia berseliweran dari arah jendela kamar yang tertutup kelambu. Namun, tetap saja tak ada yang peduli atau berusaha mencari tahu kegaduhan yang ia buat.
Ketika marmut itu benar-benar dalam keadaan setengah putus asa, pintu kamarnya terbuka, dan munculah sosok Alfin. Sesaat, si marmut merasa sangat senang. Akhirnya, rasa kelaparannya akan segara sirna, pikir si marmut.
Alfin tak merasa risih dengan kamar yang penuh sampah dan berbau sengak itu. Sejak Galih menitipkan si marmut kepadanya, lelaki kurus itu selalu datang membawakan sayuran atau buah untuk si marmut sehari dua kali. Kadang malah sekali. Walau demikian, si marmut senang dengan kedatangan lelaki itu. Selain rasa lapar yang terobati, Alfin juga sekaligus penawar kesunyiannya.
Tapi, kali ini Alfin datang tanpa sayur atau buah dan untuk pertama kalinya si marmut merasa kecewa.
Alfin hanya mengangkat kandang marmut itu, menaruhnya di luar kamar, kemudian duduk di sebelahnya. "Mulai hari ini, kau takkan kesepian lagi," kata Alfin. "Majikanmu sebentar lagi pulang dan ia akan membawakanmu sawi dan brokoli kesukaanmu."
Hujan deras itu perlahan reda. Sinar matahari senja mulai membuat rekahan-rekahan kecil pada mendung yang pekat dan tak lagi terdengar desau dari rerimbun pohon di sekitar kosan. Alfin duduk di depan kamar Galih bersama si marmut lemas yang sudah putus asa, menikmati saat-saat hujan reda. Pada saat itu, Alfin kembali mengingat kenapa ia takut pada kabut yang bercampur petang. Sebab, ia selalu merasa ada kekelaman yang bersemayam di sana dan mengintai nasib siapa saja.
***
Galih menarik keyboard dari bawah meja, setengah menyentak. Lalu menyalakan tombol power pada CPU dengan kasar. Ia kesal pada Alfin yang tak mau mengerti kondisinya dengan menyuruhnya kembali ke kosan itu demi seekor marmut.
Lelaki berbadan tambun itu sebetulnya enggan kembali ke kosan. Sebab, saat berada di sana, pikirannya akan kalut. Banyak hal di dalam kosan itu yang membuat Galih tak lagi menikmati hidup sebagai seorang anak muda. Mulai dari tunggakan sewa dua bulan, tumpukan sampah, sampai papan jadwal yang menunjukkan padatnya tugas-tugas kuliah. Juga foto kedua orangtuanya yang selalu mengingatkan lelaki itu bahwa mereka akan memaafkan apa saja kesalahannya kecuali satu hal: kegagalan.
Siang itu, Galih terpaksa berkata pada Alfin akan kembali ke kosan tepat pukul delapan malam dan kembali merawat marmutnya. Hewan yang dulu ia beli dari sebuah petshop karena berpikir dengan memiliki peliharaan, maka kegilaannya bermain game online akan berhenti. Tapi, sialnya setelah dua pekan merawat hewan gembul itu Galih jadi menyesal.
Sekarang, ia hanya ingin menikmati dunia virtualnya. Entah sampai kapan Galih akan terus-terusan hidup minimalis dalam bilik warnet, yang kadangkala juga bilik surga para waria itu. Namun, ia memang tak punya pilihan lain. Karena hanya dengan berpetualang di dunia virtual itulah Galih bisa menjadi ksatria untuk dirinya sendiri tanpa perlu memikirkan nasib masa depannya.
Yogyakarta, 2019
Khumaid Akhyat Sulkhan lahir di Batang, 3 Juli 1996. Aktif menulis esai dan cerita pendek. Sekarang mengelola media komunitas Tabularasa.id
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)