Di antara kudapan kue-kue cokelat mungil warna-warni, tiga buah buku puisi diluncurkan di tengah sore Jakarta yang panas dan sibuk. Terasa mewah dan istimewa, begitulah gambaran suara baru yang diusung oleh ketiga penyair di balik masing-masing buku tersebut.
Mengantarkan peluncuran karya tersebut, penyair dan kritikus puisi Mikael Johani memberikan pidato sambutan pendek yang intinya menyambut gembira penerbitkan tiga buku puisi itu. Yakni, ‘Sergius Mencari Bacchus’ karya Norman Erikson Pasaribu, ‘Kawitan’ karya Ni Made Purnama Sari dan ‘Ibu Mendulang Anak Berlari’ karya Cyntha Hariadi.
Mikael memang menjadi salah satu orang yang paling gembira dengan acara tersebut, di samping tentu saja masing-masing penyairnya sendiri. Bisa dibilang, Mikael ikut membidani lahirnya karya-karya itu. Tiga buku itu berturut-turut merupakan pemenang pertama, kedua dan ketiga Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2015 dimana Mikael menjadi anggota dewan jurinya, bersama Joko Pinurbo dan Oka Rusmini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
‘Sergius Mencari Bacchus’ karya Norman merupakan suara dari kaum yang terpinggirkan karena minoritas dalam agama maupun orientasi seksual. Norman meminjam kisah-kisah tragedi dari zaman lampau untuk menyampaikan pesannya.
“Saya menulis tragedi tapi nggak ingin dengan cara yang sedih, tetap mempertahankan gaya santai seperti yang telah saya perlihatkan dalam karya-karya cerpen saya sebelumnya,” ujar Norman yang mengawali kariernya di panggung sastra lewat buku kumpulan cerpen ‘Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu’ itu.
Sedangkan lewat ‘Kawitan’, Purnama Sari mempertanyakan asal mula berbagai hal, dari penciptaan, tempat, keluarga, tradisi hingga kebudayaan yang luas. “Awalnya naskah ini saya niatkan sebagai dokumentasi karya saya, sejak awal saya menulis puisi pada 2008 hingga karya-karya terbaru pada 2015,” ujar Purnama tentang 42 puisi dalam kumpulan tersebut, yang sebelumnya telah dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
Berbeda dengan Purnama dan Norman, Cyntha Hariadi sebagai Pemenang III lewat manuskrip ‘Ibu Mendulang Anak Berlari’ sebelumnya tak pernah dikenal secara publik sebagai seorang penulis. Praktisi di bidang periklanan ini mengejutkan para juri dengan puisi-puisinya yang jujur dan keberhasilannya menyulap hal-hal keseharian dalam kehidupan rumah tangga menjadi sesuatu yang menakjubkan.
“Puisi-puisi saya tercetus dari pengalaman menjadi ibu. Sosok ibu yang selalu diagungkan, suci, tahan menderita, serba baik…ternyata dalam pengalaman saya tidak begitu,” ujar Cyntha.
Kemunculan tiga karya penyair dari hasil sayembara yang digelar DKJ dan diumumkan pada 22 Desember lalu itu, menurut Mikael Johani, selain diharapkan bisa menjadi suara baru bagi dunia kepenyairan di Indonesia, boleh jadi juga akan memberikan tantangan bagi penyair-penyair kontemporer lainnya.
“Tiga buku puisi ini seolah ingin mengatakan, ada cara lain untuk mengolah realitas kita sekarang,” tutur Mikael yang juga menyebut bahwa Norman, Purnama dan Cyntha merupakan “tiga menguak takdir sendiri-sendiri”. Ungkapan itu secara kelakar merujuk pada Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani yang pada 1950 menerbitkan buku kumpulan puisi bersama bertajuk ‘Tiga Menguak Takdir’.
Yang jelas, bagi Mikael, harapannya kini menjadi lebih besar ketika tiga manuskrip pemenang sayembara DKJ tersebut terbit di saat yang menarik, yakni di tengah munculnya sensasi “19 ribu eksemplar dalam 2 minggu” untuk buku puisi karya Aan Mansyur berjudul ‘Tidak Ada New York Hari Ini’, yang merekam kehidupan Rangga dalam ‘AADC2’.
“Saat ini buku puisi diburu dan laku lagi. Jadi semoga tiga buku puisi ini juga laku dan semua orang bisa ikut merasakan,” ujar Mikael. Atau, dalam ungkapan Purnama Sari, “Kita semua kini merayakan puisi, sebagai simbol kebersamaan di tengah riuhnya dunia sekarang."
(mmu/mmu)