Di usia 10 tahun, ia mengalami halusinasi sehingga selalu melihat segala sesuatu yang ada di sekitarnya dengan simbol 'bintik-bintik'. Bintik-bintik yang seperti sebuah 'titik' atau sekarang dikenal dengan sebutan polkadot ini selalu dilihatnya setiap saat.
"Saya menterjemahkan halusinasi dan gambar aneh saya ke dalam patung dan lukisan. Semua karya saya selalu dihubungkan dengan penyakit neurosis obsesif dan sampai sekarang tidak bisa dipisahkan," katanya, dilansir berbagai sumber, Rabu (23/3/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yayoi mengisahkan ketika masih kecilnya, sang ibunda sangat keras terhadapnya. Ibunya pun melarang Yayoi untuk menjadi seorang seniman. "Saya menjadi emosional dan tidak stabil, serta menderita gangguan saraf. Sampai saya remaja saya menerima perawatan psikiater," kenangnya.
![]() |
Selama beberapa dekade, Yayoi mencoba menyembuhkan penyakitnya dan meninggalkan kampung halamannya. Ia bertekad untuk hidup dan meninggal dunia di Amerika Serikat dan tidak akan kembali ke Jepang. Ketika dokternya berada di New York, maka dokternya akan memberikan perawatan, begitu seterusnya. Β
"Tanpa kusadari selama perawatan itu aku seperti berada di rumah sakit jiwa selama beberapa waktu. Seharusnya, aku bisa hidup dengan damai dan menciptakan karya seni," lanjut Yayoi.
Di tahun 2014, Yayoi pernah menggelar pameran retrospektif 'Infinite Obsession' yang dihadiri oleh dua juta pengunjung di Amerika Selatan. Karena karya seni 'polkadot'-nya membuat kolektor dan pecinta seni melakukan perjalanan ke sana dan bersemangat untuk melihatnya.
Yayoi menjadi melegenda meski seiman Gerhard Richter dan Jeff Koons tetap menempati posisi sebagai seniman termahal di dunia. Namun, pengaruh Yayoi tersebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Banyak seniman muda yang terpengaruh oleh Yayoi dan terinspirasi menciptakan karya.
"Saya ingin menjadi terkenal dan terus terkenal," ucapnya di usia barunya ini.
Selamat ulang tahun, Yayoi Kusama!
(tia/tia)