Ketika dirinya ditangkap pada September 1981, El Saadawi tengah berada di apartemen tua di kawasan Giza. "Saya sedang menulis novel ketika mendengar ketukan di pintu. Kemudian ada yang berteriak, 'Buka! Apakah Anda tidak mendengar pidato presiden tadi malam? Kami polisi," gertak orang di luar rumahnya.
Mereka mengatakan 1000 pembangkang anti pemerintah akan ditangkap dan 'dihancurkan'. El Saadawi mencoba untuk tenang. Lalu, ia meminta mereka untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polisi-polisi tersebut kembali lagi dan El Saadwi mengenakan sepatunya dan siap menenteng tasnya. Ketika kembali, mereka mendobrak pintu secara biadab. "Mereka mendorong saya ke jalan. Ada 10 mobil polisi. Aku bisa melihat tetangga saya mengintip dari jendela. Mereka semua sangat ketakutan."
Di penjara, El Saadawi berbagi sel dengan 12 wanita lainnya. Mereka menangis setiap saat, tapi berbeda dengan yang dilakukan feminis tersebut. Bangun tidur, El Saadawi langsung senam, menari, dan menyanyi.
Kepala penjara yang berbaik hati menyelundupkan pensil mata untuknya. Lalu, ia mulai menulis memoar menggunakan kertas toilet.
"Ya, saya menulisnya dengan kertas toilet," kata El Saadawi.
Empat minggu berlalu, akhirnya El Saadawi dibebaskan tanpa ada pemberitahuan apapun. Tapi, ia marah dan akan menggugat pemerintah. Apa yang terjadi setelah mendekam di penjara?
"Aku pergi dan tetap menulis apa yang saya inginkan," ucapnya, dilansir dari Guardian, Senin (12/10/2015).
(tia/mmu)