"Baru saja aku berbincang dengan Kusno dan ia tetap pada pendiriannya. Dua puluh tahun aku menemaninya ke mana pun dia pergi, dan tidak ada kata lain yang ia ucapkan kecuali tidak kepada kolonialisme dan imperialisme," ujar Happy Salma ketika bermonolog 'Inggit' di Galeri Indonesia Kaya, Senin siang (5/5/2014).
Sepenggal adegan tersebut nantinya akan kembali diperankannya untuk ke-12 kalinya. Garapan kali ini dikemas dengan gabungan tarian, musik gamelan Sunda dan dukungan multimedia. Pentasnya pun menjadi 120 menit dan digelar di Teater Jakarta, TIM pada 10 Mei.
Meski sudah dipentaskan berkali-kali sejak 2011 silam, namun menurut penulis naskah Ahda Imran, lakon ini sangat minim bahan. "Naskah ini lebih mirip folklore ketimbang data sejarah, karena sangat minim bahannya," katanya di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia wesst mall lantai 8.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya hanya menemukan skripsi mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan itu bukan di Bandung," katanya. Selain itu, nyaris tidak ada sama sekali bahan riset, kecuali sumber utama yang ditafsir ulang dari novel 'Kuantar ke Gerbang' karya Ramadhan KH.
Menurutnya, mengangkat sosok Inggit seperti menimbulkan batang yang selama ini terpendam. Sejarah bangsa hanya membicarakan tokoh di ruang publik, bukan domestik.
"Padahal Inggit berada di ranah domestik, ruang privat dan berada di balik kesuksesan Soekarno," ujarnya. Naskah monolog ini dibuat Ahda pertengahan 2011 lalu dan kini pentas ke-12 kalinya masih relevan dengan tahun politik.
(tia/utw)











































