10 Sutradara Indonesia Terbaik

Hot Top Ten 2013

10 Sutradara Indonesia Terbaik

Adhie Ichsan - detikHot
Senin, 06 Jan 2014 14:59 WIB
10 Sutradara Indonesia Terbaik
Jakarta - Sejumlah sutradara di bawah ini bersinar dengan caranya masing-masing dalam bertutur. Penyampaian cerita, suguhan visual dan detail menjadi beberapa aspek yang cukup diperhatikan. Siapa saja yang masuk dalam daftar?

'Belenggu' adalah dunia yang baru dari sutradara Upi, yang sebelumnya kita kenal lewat film-film seperti 'Realita Cinta dan Rock n Roll', 'Radit dan Jani', serta 'Serigala Terakhir'. Tanpa makian-makian kasar dari tokoh-tokohnya seperti dalam film-film Upi sebelumnya, film ini memasuki dirinya belakang, dari mimpi Elang (Abimana Aryasatya).

Banyak hal dalam film ini terkesan sedekar dimasukkan untuk mengejar efek eksotika dari sebuah dunia yang gila. Tapi, ini memang dunia baru Upi yang mungkin juga perlu dilihat dan dimaknai dengan cara yang baru pula.

'99 Cahaya di Langit Eropa' menyuguhkan dua hal penting yang memang menjadi daya tarik dalam film ini. Secara visual, suguhan gambar yang diberikan memang memanjakan mata.

Tapi yang lebih penting, film ini juga membuka mata bahwa Eropa bukan hanya Eiffel dan tempat-tempat wisata lainnya, namun ada peradaban Islam yang jejak-jejaknya masih terlihat lewat karya seni dan kultur.

'Sang Kiai' mengangkat kisah seorang pejuang kemerdekaan sekaligus salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dari Jombang, Jawa Timur yaitu KH Hasyim Asyari yang diperankan oleh Ikranagara. Selain memenangkan Film Terbaik FFI 2013, film arahan sutradara Rako Prijanto ini juga akan menjadi perwakilan Indonesia untuk dikirimkan ke ajang Academy Awards 2014 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik di Oscar 2014.

Menonton film karya sutradara Dinna Jasanti ('Burung Burung Kertas', 2007) ini, kita seolah diajak melancong bersama Laura dan Marsha, traveling bareng-bareng ke Amsterdam (Belanda), Bruhl (Jerman), Innsbruck (Austria) , Venice, hingga ke Verona, tempat kelahiran Romeo dan Juliet (Italia).

Dalam 'Vakansi yang Janggal', Anggi kembali menggunakan latar Yogyakarta sebagai panggung, untuk memotret kehidupan masyarakat kelas bawah. Sama seperti yang tampak pada 'Asal Tak Ada Angin', kelas sosial dan hasrat seksualitas menjadi motif yang menggerakkan tokoh-tokoh dalam 'Vakansi yang Janggal'.

'Optatissimus' yang terjemahannya berarti "doa pertama", dan merupakan film pertama dari Dirmawan Hatta, cukup mengesankan lewat cara yang tak banyak dilakukan oleh sutradara lain.

Film dibingkai dalam shot-shot kamera yang cantik hasil tataan Joseph Fofid ('Dealova', 'Rindu Kami Padamu'). Tangkapan kameranya memberi rasa tersendiri, dan dengan asyik mampu menerjemahkan makna-makna tersirat dari naskah cerita yang diilhami oleh kisah nyata ini. Bahkan bingkai gambarnya terkadang begitu puitis, menyatu dengan rangkaian narasi yang banyak diucapkan oleh Andreas di sepanjang durasi film.

Sebelum pemutaran perdana, Hanung mengungkapkan bahwa dirinya mempertaruhkan segalanya untuk filmnya kali ini. 'Soekarno: Indonesia Merdeka' adalah karya megah yang sejauh ini menjadi puncak karier Hanung Bramantyo.

Dia menuturkan babak hidup Soekarno dari sudut pandang yang menurut timnya paling penting untuk diceritakan, meskipun ada beberapa yang digali kurang dalam. Namun hal tersebut bisa dimengerti karena sebuah film komersil tetaplah memiliki batas durasi yang ideal.

Tetapi, layaknya sebuah film biografi tokoh besar selalu ada perdebatan. Hanung juga berharap filmnya muncul diskusi, bukan malah kontroversi yang berkepanjangan.

Menggarap cerita selama lima tahun dan syuting selama 6 bulan, Sunil Soraya membawa film 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' ke puncak box office Indonesia. Film ini laris bukan karena faktor bintang yang memerankan karakter utama dalam film saja, tetapi adaptasi cerita cinta pedih dari Buya Hamka yang dituturkan dengan baik. Meski ada kekurangan dari segi teknis, tetapi Sunil berhasil membuat penonton tidak beranjak dari duduknya dan menghabiskan durasi 2 jam 45 menit tanpa bosan. Sebuah karya yang apik dan layak diganjar Piala Citra.

Ahmad (Reza Rahadian) adalah seorang supir taksi di Jakarta yang kecanduan bacaan maupun video seks, namun tak bisa melampiaskan keinginannya karena tak mampu. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menikmati sendirian di depan televisi atau bermasturbasi diam-diam.

Sutradara Teddy Soeriaatmadja mengangkat dilema moral dalam karakter Ahmad yang tentu saja dirasakan banyak orang. Film ini mendapatkan kesempatan untuk diputar di Berlin Internasional Film Festival 2013 dalam program Panorama. 'Something In the Way' juga diputar Jogja Netpac Asia Film Festival.


Menggarap cerita selama lima tahun dan syuting selama 6 bulan, Sunil Soraya membawa film 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' ke puncak box office Indonesia. Film ini laris bukan karena faktor bintang yang memerankan karakter utama dalam film saja, tetapi adaptasi cerita cinta pedih dari Buya Hamka yang dituturkan dengan baik. Meski ada kekurangan dari segi teknis, tetapi Sunil berhasil membuat penonton tidak beranjak dari duduknya dan menghabiskan durasi 2 jam 45 menit tanpa bosan. Sebuah karya yang apik dan layak diganjar Piala Citra.

Hide Ads