Streetwear menjadi tren fashion yang kini banyak digemari orang, khususnya anak muda. Identik dengan gaya berpakaian casual, siapa sangka streetwear dapat menjadi media penyatu berbagai subkultur.
Seperti yang dilakukan Fiqih A. Dennoto, sosok di balik pertumbuhan subkultur yang digerakan oleh butik streetwear Legasy. Lewat karyanya, Legasy menjadi sebuah melting pot subkultur alternatif di Surabaya, yang bersifat seperti markas perkembangan.
Legasy menjadi pelengkap dan fasilitator berbagai kegiatan dan tahap konsep para pelaku kreatif subkultur di Surabaya. Tak hanya itu, Legasy menjiwai sebuah pandangan do-it-yourself yang keras dan adaptif. Bahkan, menjadi brand dan powerhouse budaya alternatif di kota tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai figur penting dalam penemuan Legasy, Fiqih memberikan pandangan optimis mengenai Surabaya sebagai tempat berkembangnya subkultur. Ia menjelaskan, Legasy pada intinya merupakan sebuah pemain di kultur streetwear, namun posisi mereka tidak menutup kemungkinan kerja sama dengan sejumlah kultur lainnya.
Sebagai outlet, operasional harian Legasy memang terlihat seperti toko biasa. Namun, pada momen khusus, mereka menjadi pusat pertunjukan bagi sektor lain dari seni visual hingga musik. Toko di bilangan Jalan Bawean ini pun sudah sering menjadi titik perkumpulan acara yang menarik perhatian para pelaku kreatif di Surabaya.
"Awal mula kita pingin bikin brand dan involve di industri itu," jelas Fiqih dalam keterangan tertulis, Rabu (2/2/2022).
"Kita ada pikiran kalau misalnya kalau kita bisa bikin, ngapain beli?" ujarnya.
Pandangan ini pun sejalan dengan cara Fiqih memandang ekosistem subkultur di Surabaya, yang telah bertumbuh selama ini. Ia menyampaikan, Legasy awalnya berdiri karena keterkaitannya dengan kelompok dan kolektif kreatif di lingkungan sosialnya.
Fiqih menyebutkan, kegigihan bukan sebuah rintangan yang perlu dikhawatirkan. Namun, pengaruh minimnya sorotan media dan eksposur menahan pertumbuhan budaya musik, seni, dan fashion alternatif yang unik dengan identitas Surabaya.
"Kita masih butuh eksplor untuk bisa menyampaikan ke orang-orang," jelas Fiqih.
Berdasarkan pandangannya, ia mengungkapkan, kultur-kultur alternatif Surabaya masih membutuhkan upaya lebih dalam penyampaian makna karya mereka. Sebagai kota yang dominan ke sejumlah preferensi seni yang telah mendarah daging, menjamu pasar dengan hal baru menjadi rintangan terbesar.
Dalam hal ini, Legasy mencoba untuk memposisikan brand-nya sebagai pelengkap. Legasy menjadi tahap penting dalam inkubasi kultur-kultur dan pelakunya yang masih dalam tahap pengembangan. Terutama sebagai fasilitator segi ruang dan segi sosial.
Berdirinya Legasy pun didukung oleh prinsip dibutuhkannya sebuah platform penyebaran brand-brand lokal di ekosistem kultur Surabaya. Hal ini juga sejalan dengan visi yang mereka pegang selama ini. Menyambut pandemi, Legasy menggelar kampanye virtual 'Surabaya Solidarity', sebuah upaya kolektif dukungan brand-brand lokal yang mendapatkan kesulitan selama masa pandemi.
(ads/ads)