Lulusan Seni Grafis Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menuturkan latar belakang kuliahnya menjadi salah satu alasan menggunakan material arang.
"Karena aku dulu itu di printmaking, harus cetak, dan banyak bikin sketsa hitam-putih. Arang tuh hal yang remeh temeh. Semua orang melukis dan bikin patung jadi aku mencoba membuat sesuatu yang berbeda," ujar Pramuhendra ketika diwawancarai detikHOT belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arang menjadi hal remeh sekaligus sesuatu hal yang besar bagi Pramuhendra. Arang pula merupakan medium yang sederhana.
"Buat aku sebenarnya gagasan kreatif nggak harus terkungkung pada satu media. Ada satu instalasi ruangan air, itu kan nggak bisa digambar. Harus bikin kayak gitu biar orang merasakan apa yang kita rasakan," tutur Pramuhendra.
Ketika menggambar menjadi karya seni instalasi, mau tak mau Pramuhendra pun mengaplikasikan material tersebut. "Kadang oh ide kayak gini cocoknya kayak gini, itu yang jadi pergulatan," katanya.
Setelah lulus dari ITB pada 2007 lalu, Pramuhendra mendapat perhatian khalayak internasional. Karya instalasi 'Ashes to Ashes' yang digelar dalam Hong Kong Art Fair 2010 banyak mencuri perhatian.
Di tengah pergulatan warna dan tema berbagai kreasi seni yang tampil dari berbagai galeri besar dunia, ia muncul dengan warna monokromatik hitam putih. Karyanya paling sering ditentukan oleh potret dirinya yang realis sebagai tokoh sentral, menyelidiki imannya sendiri dan keberadaan Tuhan.
Tahun lalu, Pramuhendra menggelar pameran tunggal pertamanya di Indonesia dengan tajuk 'The Monster Chapter I: Memory' di Cans Gallery, Jakarta Pusat.
(tia/nkn)