Menurut lulusan ISI Surakarta, tari Lengger memang kerap menjadi stereotip dari seni tradisional lainnya.
"Dianggap nggak punya paket, saya juga punya kesulitan tersendiri dengan menjadi seniman tari lengger yang dianggap pinggiran. Itulah yang ingin saya buktikan dengan karya-karya saya," ujar Otniel ketika berbincang dengan detikHOT, Selasa (14/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan sikap tegas, penari yang merintis karier sebagai koreografer itu tak ingin mengikuti arus. "Nanti dilihat kualitas juga malah akan terlihat lebih unggul."
Dimulai dengan 'Rohwong' (2010), 'Angruwat' (2010), dan 'Mantra' (2012), 'Barangan' (2013), 'Lengger Laut' (2014), 'Penantian Dariah' (2015), 'Stand Go Go' (2017). Sampai tarian terbaru yang dibuat bertepatan dengan perayaan 10 tahun Komunitas Salihara 'Cablaka'.
Baca Juga: Otniel Tasman Populerkan Tari Lengger Hingga ke Belgia
Lewat tarian yang dilakoninya, Otniel bisa menarikan karakter maskulin dan feminin. Ia pun ingin menghadirkan pemahaman baru mengenai dua hal tersebut termasuk persoalan gender.
"Jusrtu aku menghadirkan pemahaman baru apa itu maskulin atau feminin. Oh, ternyata bukan masalah alat kelamin, bahwa semua orang punya energi maskulin dan feminin. Tapi karena maskulin cendrung laki-laki dan ini cenderung perempuan, menurut saya menarik untuk ditampilkan dalam karya," tukas Otniel.
Simak artikel berikutnya.
(tia/tia)