Masa Lalu yang Gelap dan Kontroversi Kebaikan Cinderella

Spotlight

Masa Lalu yang Gelap dan Kontroversi Kebaikan Cinderella

- detikHot
Kamis, 19 Mar 2015 14:57 WIB
Jakarta -

Pada zaman dahula kala sebelum Disney mengadopsi Cinderella, karakter gadis baik hati ini adalah milik petani, masa sebelum ada televisi dan radio. Cerita rakyat yang berkembang telah menciptakan ribuan Cinderella dari berbagai tempat yang beragam seperti Tiongkok, Jepang, Mesir Kuno hingga Tennessee.

Cerita Cinderella yang paling menginspirasi berasal dari Prancis. Dipublikasikan pada 1697 oleh intelektual bernama Charles Perrault, cerita itu dicetak atas nama anaknya melalui judul Cendrillon atau The Little Glass Slipper. Perrault adalah sumber dari perwujudan fantasi Cinderella seperti sofa dari labu dan sepatu kaca.

Ada yang mengatakan bahwa sepatu kaca alias the glass slipper (pantoufle de verre) berasal dari penerjemahan yang salah dari sepatu bulu musang atau weasel-fur slipper (pantoufle de vair). Namun sebagian juga percaya imajinasi Perrault cukup tinggi untuk mengeluarkan ide sepatu kaca. Pada 1897 pendongeng William Ralston Shedden-Ralston menulis bahwa sepatu kaca itu 'salah satu cara menelusuri penggambaran cerita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekelumit kisah itu merupakan cikal bakal lahirnya film animasi Cinderella Disney pada tahun 1950 yang terkenal di seluruh dunia. Kini Disney kembali menceritakan ulang dongeng tersebut setelah lebih dari enam dekade melaui film live-action dari sutradara Kenneth Branagh dan penulis Christopher Weitz (The Twilight Saga: New Moon).

Baca Juga: Cinderella, Bukan Sekadar Film untuk Anak-anak

Branagh tetap memasukkan elemen-elemen penting pada karakter Cinderella seperti ibu peri, kereta dari labu, sepatu kaca, dan sebagainya. Mungkin tantangan terbesar adalah bagaimana mengemas cerita Cinderella dan membuat tokoh yang juga sering dikritik karena terlalu naif itu tampak lebih memiliki sikap.

"Dia tidak terlalu modern, pada pandangan pertama," kata Weitz kepada Vanity Fair.

"Dia tidak melawan balik secara langsung. Memang ada banyak film di mana tokoh pahlawan sangat aktif dan agresif, dan tetapi ada ruang untuk karakter yang benar-benar mempertahankan dan memperhatikan aspek paling penting dari apa yang dia lakukan," jelas Weitz lagi.

Anda yang turut tumbuh dengan cerita Cinderella Disney, mungkin belum pernah mendengar salah satu kisah paling tua Cinderella yang mengejutkan. Dalam salah satu cerita dia disebut sebagai gadis budak yang dijual di wilayah yang disebut Thrace, yang meliputi bagian dari Turki modern, Bulgaria, dan Yunani.

FOTO: Kisah Klasik Film 'Cinderella'

Dalam sebuah fragmen puisi, mengindikasikan bahwa dia sebenarnya wanita bernama Rhodopis (pipi kemerahan). Cerita itu menyebutkan bahwa Thracian Cinderella ini dicari oleh kaisar setelah elang menjatuhkan sandal emasnya di pangkuan Rhodopis.

Cerita lebih ekstrem tentang Cinderella menyebutkan bahwa ia hidup bersama ibunya dan dua saudari kandung di hutan. Mereka kemudian berada dalam kondisi kelaparan yang menyedihkan. Dua saudari Cinderella memutuskan untuk membunuh sang ibu dan memakan dagingnya untuk bertahan hidup, tetapi Cinderella tak mau bergabung. Karena alasan itu, tulang belulang ibundanya lah yang menjadi 'sihir ajaib' untuk membantu Cinderella tampil cantik dan anggun ke pesta dansa.

Cerita muram tersebut berubah menjadi manis dalam penanganan Disney. Lily James yang menjadi Cinderella di era 2015, dinilai berhasil menyampaikan visi Branagh dan Weitz di karakter Cinderella dengan keyakinan bahwa 'memiliki keberanian dan selalu bersikap baik' akan membuatnya bertahan atas ketidakadilan.

Ketika Cinderella akhirnya ditemukan sang pangeran, ia berjalan melewati ibu tiri jahatnya seraya berkata, "Aku memaafkanmu." Kalimatnya mungkin tidak agresif, tetapi dinilai menunjukkan kekuatan sesungguhnya.

Baca Juga: Cinderella: Dongeng Klasik yang Masih Sama

Sementara beberapa kaum feminis mengkritik sikap naif Cinderella dan penggambaran 'wanita lemah' yang dibuaikan dalam cerita dongeng. Cinderella dinilai merendahkan dirinya sendiri karena 'sikap baiknya'. Contoh ketika adegan ia menawarkan kamarnya yang luas, dan menerima saja untuk tidur di loteng, padahal itu rumah miliknya. Atau adegan ketika Cinderella dengan cepat bergerak seperti pelayan ketika ibu tirinya menjatuhkan kue secara sengaja di lantai.

Psikoterapis Amy Morin yang membuat buku '13 Things Mentally Strong People Donโ€™t Do' mengatakan, "Penggambaran wanita yang tampil tak berdaya sampai kemudian seorang lelaki muncul menyelamatkannya dari segala masalah adalah pesan yang bermasalah."

"Akan lebih sehat untuk para wanita agar mengetahui kemampuan menyelesaikan masalah mereka sendiri, dibanding tergantung pada pria sebagai solusinya," lanjut Amy.

Lepas dari segala pro dan kontra mengenai karakter dan cerita Cinderella, film ini terbukti masih disukai penonton. Dalam debutnya di bioskop Amerika Utara, 'Cinderella' meraup pendapatan US$ 70 juta atau sekitar Rp 929 miliar.

(ich/mmu)

Hide Ads