Ke-11 lukisan itu di antaranya adalah karya Agus Djaja yang berjudul 'Kuda Lumping' dan berasal dari tahun 1950. Ada juga lukisan Dullah 'Istriku' (1953), lukisan Sapto Hoedojo 'Gadis Bali' (1954) hingga karya dari tahun 2007 'Untuk&Atas Nama Orang Ramai #IV' ciptaan Diyatno.
Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto, mengatakan lukisan-lukisan yang direstorasi sebagian besar diperbaiki karena material.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Material itu zat yang tidak standar, kanvas yang tidak standar, teknik juga. Kasus-kasus berikutnya biasanya perubahan suhu atau kelembapan karena perpindahan tempat," terang Pustanto, saat jumpa pers di Galeri Nasional Indonesia, Selasa (10/12/2019).
Ada juga beberapa lukisan yang permukaannya mengalami keretakan, tergores, maupun cat terkelupas. "Ada juga kanvas berlubang atau robek. Jadi kasusnya ya kurang lebih seperti itu. Tindakan-tindakannya itu etikanya tidak memperbaiki permanen, hanya temporer saja," lanjutnya.
Pustanto menyebutkan di lukisan Zaini yang berjudul 'Perahu' juga direstorasi sebagian saja yang ada di permukaan. Ada retakan yang cukup banyak karena usia lukisan yang sudah tua, kanvas pun terbilang kendur dan bolong akibat debu yang sudah menahun.
"Memperbaiki lukisan yang terkelupas, tidak boleh langsung dicat karena akan langsung melekat dan sifatnya permanen. Zat ini setahun atau 2 tahun berubah bisa diangkat kembali. Ada teknologinya juga, jadi prinsip etiknya seperti itu," tukasnya.
(tia/kmb)