Ternyata ada satu adegan di dalam novel yang tidak diceritakan namun di versi layar lebar justru 'diperjelas' dan diperlihatkan. Hal tersebut diungkap oleh keluarga Pram saat detikHOT menyambangi rumah mereka di kawasan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur.
"Di dalam buku itu kan, ada pengadilan putih di mana Nyai Ontosoroh hadir. Pertanyaannya, apakah boleh berdiri atau harus berjongkok," ujar putri Pram, Astuti Ananta Toer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam novel 'Bumi Manusia', lanjut Astuti' tidak disebutkan bentuk sikap dari Nyai Ontosoroh. "Saya bicara kepada Salman Aristo. 'Mas, ini kan Pak Pram tidak menyebutkan harus berdiri atau harus jongkok'," ucap Astuti mengenang peristiwa tersebut.
"Kalau menurut saya pada zamannya itu seorang Nyai orang paling rendah. Jalannya tidak boleh berdiri. Pengadilan putih hebat sekali saat itu dan di masa itu sepertinya harus berjalan dengan berjongkok. Akhirnya dalam film, Nyai jalan dengan berjongkok," terang Astuti.
Cucu Pram, Angga Okta, pun menambahkan, "Ya memang ada yang diperjelas atau diperdetail dalam film."
"Di masa itu, dalam kesusatraan Indonesia tidak pernah ada yang menyebut atau menulis sejarah para rakyatnya, yang dibuat adalah buku sejarah para raja-rajanya. Kesulitan kita di situ. Tidak ada yang mengenai rakyat atau budayanya. Itu kesulitannya di situ," timpal Astuti.
Novel 'Bumi Manusia' merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru. Pram menulisnya ketika ditahan dan berada dalam pengasingan Pulau Buru selama 14 tahun lamanya.
Di Pulau Buru, ia pertama kali menceritakan karakter Nyai Ontosoroh lewat lisan kepada teman-temannya. Setahun berikutnya novel 'Bumi Manusia' mulai digarap dan menambahkan karakter Minke yang terinspirasi dari tokoh pers nasional Tirto Adhi Soerjo.
(tia/dal)