Novel 'Bumi Manusia' karya Pramoedya Ananta Toer dialihwahanakan ke dalam film layar lebar. Hanung Bramantyo menjadi sutradara dari film tersebut.
Sejak wacana alih wahana tersebut santer terdengar, berbagai kontroversi bermunculan. Banyak yang tidak setuju novel itu dibuat versi film.
Alasannya beragam, mulai dari anggapan bahwa film tak mungkin mampu memvisualisasikan penuh apa yang ada di kepala Pram dalam durasi yang terbatas, hingga keraguan terhadap sutradara hingga Iqbaal Ramadhan yang berperan sebagai Minke.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Keempat novel tersebut merupakan sumbangsih yang begitu besar bagi kesusastraan Indonesia. Ditambah lagi nama besar Pram dan bagaimana kisah tersebut ditulis dari dalam penjara di Pulau Buru membuat banyak penggemarnya 'posesif' terhadap karya tersebut.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Tetralogi Pulau Buru dialihwahana, sebelumnya, sempat ada teater bertajuk 'Bunga Penutup Abad' yang mengambil cerita gabungan dari 'Bumi Manusia' dan 'Anak Semua Bangsa'.
Di tengah pro dan kontra tersebut, nyatanya film tersebut akhirnya rampung dengan cukup apik. Film tersebut bakal mulai dapat ditonton di bioskop Tanah Air pada 15 Agustus 2019.
Dikisahkan Tirto Adhie atau Minke (Iqbaal Ramadhan) seorang Indonesia tulen alias pribumi yang merupakan siswa H.B.S. diajak berkunjung ke Wonokromo oleh teman sekolahnya, Robert Suurhorf (Jerome Kurnia).
Meski pribumi, Minke memiliki privilasi sebagai kaum priyayi Jawa karena ayahnya (diperankan Donny Damara) merupakan seorang pejabat. Privilase yang ia miliki itu yang membuatnya dapat sekolah di H.B.S. dan menulis.
![]() |
Rupanya Robert Suurhorf mengajak Minke menemui sebuah keluarga pemilik perusahaan Boerderij Buitenzorg. Dari situlah cerita bergulir.
Di keluarga itu terdapat dua orang anak, Robert Mellema (Giogino Abraham) dan Annalies Mellema (Mawar Eva de Jongh). Meskipun kakak beradik, keduanya memiliki pribadi yang bertolak belakang.
Robert Mellema gemar melecehkan pribumi dan menganggap darah campurannya membuat kastanya lebih tinggi dibandingkan pribumi totok. Sebaliknya, Annalies justru membenci darah campurannya dan berharap menjadi pribumi totok.
Namun yang menjadi sosok sentral dan begitu penting dalam film adalah keberadaan tokoh Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti). Nyai Ontosoroh merupakan ibu dari kedua anak yang bertolak belakang tersebut.
Perempuan luar biasa itu adalah gundik (sebutan untuk istri simpanan pribumi dengan 'suami' orang Belanda) bernama asli Sanikem. Ia dijual keluarganya kepada Herman Mellema (Peter Sterk) agar ayahnya mendapat kedudukan.
Sanikem berubah panggilan menjadi Nyai Ontosoroh karena nyai merupakan panggilan untuk gundik dan ontosoroh berasal dari nama perusahaannya, Buitenzorg, yang sulit dilafalkan oleh warga Wonokromo.
![]() |
Syahdan, Minke dan Annalies saling jatuh hati. Akan tetapi kisah cinta mereka rupanya tak berjalan mulus. Kerumitan terjadi akibat latar belakang yang berbeda dari keduanya.
Film tersebut terbilang dieksekusi dengan apik. Hanung Bramantyo bisa dibilang cukup berhasil menjawab keraguan dari orang-orang yang menganggap novel tak akan mampu digarapnya sebagai film.
Beberapa kutipan penting dari novel, masuk menjadi dialog yang terasa begitu pas dan sesuai pada porsinya.
Nyatanya, cerita 'Bumi Manusia' disampaikan dengan cukup baik dan alur yang mengalir dalam film. Tentunya dalam hal ini, penceritaan dalam film tersebut Hanung telah memilih beberapa bagian untuk menjadi fokus yang ditonjolkan dalam film.
Pada sebuah wawancara ketika hendak memulai proses syuting, Hanung sempat berkata bahwa 'Bumi Manusia' adalah kisah cinta antara Minke dan Annalies, hal itu pun mengundang kecaman dari banyak pihak yang mencintai novelnya. Nyatanya, persoalan ketimpangan kelas, rasisme, dan feodalisme tetap menjadi fokus yang dibahas secara kentara dalam filmnya.
Ada tiga ras yang menjadi representasi dalam film tersebut, kulit putih (Eropa, mayoritas Belanda), Tionghoa, dan pribumi. Meski memiliki pendakatan yang berbeda dari novelnya, namun filmnya berhasil menunjukkan bagaimana pribumi diperlakukan begitu berbeda dari kaum kulit putih di masa penjajahan.
Tak hanya perlakuan berbeda dan penindasan terhadap pribumi yang dipersoalkan dalam film, namun juga bagaimana pribumi menerima penindasan tersebut sebagai kepatuhan yang juga menjadi salah satu sorotan walaupun porsinya tak banyak.
Akting para pemain, terutama Sha Ine Febriyanti, terbilang jempolan. Ine berhasil memerankan tokoh Nyai Ontosoroh nyaris tanpa cela. Padahal ada banyak adegan bertensi tinggi yang harus dijalaninya, akan tetapi ia berhasil memerankannya dengan begitu baik.
Para pemeran lainnya, mulai dari Ayu Laksmi, Giorgino Abraham, Mawar Eva De Jongh dan lain-lain juga dapat memerankan tokohnya masing-masing dengan prima. Lagu 'Ibu Pertiwi' yang dinyanyikan oleh Iwan Fals, Once Mekel dan Fiersa Besari juga hadir di waktu yang pas dalam film ini. Lagu tersebut berhasil membawa rasa film ini menjadi lebih hidup.
Tentunya tak ada gading yang tak retak, film ini juga memiliki catatan. Bertolak belakang dari keberhasilan Ine memerankan Nyai Ontosoroh, akting Iqbaal Ramadhan justru tidak berhasil menunjukkan kegelisahan Minke.
Minke seharusnya menjadi tokoh utama yang tak hanya gelisah pada Annelies, namun juga pada persoalan moderenisme Eropa dan nasib bangsanya. Sayangnya, Iqbaal kurang bisa menguraikan kerisauan itu.
![]() |
Sepanjang film, tampak Iqbaal berusaha mati-matian memerankan Minke. Belum lagi logat medok yang terdengar dipaksakan. Ia bahkan lebih apik bila bicara dalam bahasa Belanda ketimbang bahasa Jawa.
Sebenarnya usaha tersebut adalah hal yang patut diapresiasi. Terlebih, meski tampak kurang gelisah, Iqbaal berhasil keluar dari citra 'remaja kota besar' yang selama ini tersemat di dirinya. Ia cukup berhasil menjadi pria pribumi privilase di masa penjajahan, namun bukan Minke.
Catatan lainnya, beberapa karakter yang ada juga kurang tergali dengan sebagaimana mestinya. Meski Nyai Ontosoroh berhasil diperankan Sha Ine Febriyanti dengan sangat apik, namun durasi yang singkat membuat problematika dari tokoh tersebut kurang tergali.
Penonton bisa tahu Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan yang cerdas dan berhati baja. Sayangnya, tidak semua bisa menangkap perjalanan Nyai Ontosoroh sebagai subaltern (gundik, anak perempuan yang dijual ayahnya) hingga bisa menjadi sosok yang begitu eksistensialis dan mengubah takdirnya (pengelola Boerderij Buitenzorg, menjadi perempuan kaya raya). Padahal itu adalah hal yang penting.
Atau contoh lainnya adalah karakter Darsam yang berkali-kali disebut, namun tidak tergali secara utuh latarnya dan mengapa ia begitu ditakuti. Karakter Jean Marais yang merupakan serdadu Prancis yang kehilangan kakinya juga tidak tampak. Ia hanya tampil sebagai sahabat Minke.
Meski filmnya berhasil menangkap kisah dan menunjukan persoalan dalam novelnya dengan kentara, namun tetap saja, film ini terlampau menitikberatkan fokus cerita pada kisah cinta Minke dan Annalies.
Memang sulit untuk menuangkan segala kompleksitas yang ada di novel dengan durasi film yang memiliki batasan. Penonton memang sebaiknya cukup bijak untuk tidak membanding-bandingkan novel dengan media lainnya yang digunakan untuk alih wahana.
Walau demikian, 'Bumi Manusia' tetaplah film yang patut untuk ditonton karena terlihat diramu dengan apik dan dibuat dengan serius. Ada banyak hal yang patut dibicarakan usai menontonnya.
Terlepas bagaimana film ini, yang pastinya akan sangat bergantung dengan perspektif dan selera, sebenarnya ada wacana lain yang lebih penting dari sekadar penilaian bagus dan tidaknya film ini.
Pramoedya Ananta Toer adalah sosok penulis yang memiliki sumbangan besar bagi dunia sastra Indonesia. Sayangnya, pada masa Orde Baru, karya-karyanya sempat dilarang, bahkan dibakar. Namanya pantas masuk ke dalam bahan ajar Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, namun untuk membacanya, pada masa itu, orang harus sembunyi-sembunyi.
Film 'Bumi Manusia' berhasil membuat Pramoedya Ananta Toer kembali menjadi sorotan dan diperbincangkan, bahkan oleh generasi muda yang mungkin belum pernah membacanya dan menonton filmnya karena Iqbaal.
Dengan adanya alih wahana karya Pram ke dalam berbagai medium, salah satunya film, mungkin dapat menjadi gerbang untuk kita mengenal Pramoedya dengan lebih dalam. Sebab Pramoedya layak mendapatkan sorotan dan penghormatan.
(srs/doc)