Hal tersebut diungkap oleh Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi di acara penyerahaan Prince Claus 2018 kepada Eka Kurniawan. Ia menyebutkan di awal penelitian skripsi yang kini dibukukan 'Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis', paham sastra realisme sosialis digaungkan.
Menurutnya ketika membaca karya Eka tidak selalu muncul perasaan senang maupun sedih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saras Dewi mencontokan dalam buku kumpulan cerpen 'Seperti Dendam Harus Dibayar Tuntas' ada cerita lucu soal karakter utama dalam pengalaman ereksi. Dari segi karakter dan pengembangan kini lebih berkembang.
"Karya-karya Eka Kurniawan menggambarkan kondisi Indonesia, misalnya ada peristiwa pembantaian 1965, dan sastra yang saya yakini dalam karya-karya Mas Eka adalah sastra 'bergerak'. Tidak hanya dapat kepuasaan, tapi mas Eka mewarisi tradisi sastra 'bergerak' itu sendiri," lanjut Saras Dewi.
Bahkan sastra, lanjut dia, masih menjadi sumber sejarah untuk memahami yang dibungkam. Akhir pekan lalu, Eka Kurniawan baru saja menerima Prince Claus Awards 2018 dari Kerajaan Belanda.
Lewat buku-bukunya, Eka mampu mengembangkan kebudayaan Indonesia di kategori sastra dan mengenalkannya pada pembaca internasional.
Dalam menghasilkan karyanya, Eka mengaku belajar dari karya-karya Pramoedya Ananta Toer hingga akhirnya menemukan gayanya sendiri. Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) seringkali memadukan elemen tradisi, sejarah dari mulut ke mulut, pencak silat, hingga komik horor digunakannya untuk menggambarkan pengalaman masyarakat yang sangat berlapis.
Tak heran jika karya-karyanya yang dinilai unik ini sering disejajarkan dengan penulis Gabriel Garcia Marquez dan Haruki Murakami. Salah satu novelnya, 'Cantik itu Luka' di tahun 2002 pun telah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa.