Sejumlah band kerap mendokumentasikan apa yang terjadi di masa lalu dan yang tengah terjadi di masa sekarang lewat lagu-lagunya. Lagu-lagu protes dan kritik sosial tersebut dipercaya dapat meningkatkan kesadaran para pendengarnya mengenai peristiwa yang terjadi di sekitaran.
Lagu-lagu mengenai sejarah kekerasan bangsa Indonesia pada 1965 dan 1998, misalnya, memiliki peran penting untuk membuat hal-hal tersebut tetap mengudara dan menjadi memori kolektif bagi orang-orang yang mendengarnya.
Terlebih bagi pendengar yang belum lahir di masa itu, lagu-lagu tersebut bisa mendorong mereka untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu dan peristiwa apa yang melatarbelakangi dibuatnya lagu tersebut.
Sejumlah musisi yang terdiri dari Rara Sekar, Baskara dari .Feast, Karaeng R. Adjie dari Polka Wars, hingga Akbar B. Sudibyo dari Efek Rumah Kaca membahas hal tersebut dalam diskusi 'Musik dan Aktivisme: Lirik, Lupa dan Luka' yang berlangsung di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serupa tapi tak sama dengan Akbar, Karaeng atau yang akrab disapa Aeng menjelaskan bahwa lagu-lagu milik Polka Wars, baik yang bernapaskan lagu protes maupun bukan, lahir dari kegelisahan personal.
"Tumbuhnya organik saja, tapi memang sifatnya, segala bentuk seni, itu kan enkapsulasi rasa," terangnya.
Sedikit berbeda, Baskara mengutarakan, tujuan awal dari ia dan bandnya membuat lagu-lagu bernapaskan isu sosial adalah karena mereka menginginkan lagu tersebut menjadi monumen dari isu-isu yang terjadi.
Selebihnya, ia ingin lagunya menjadi penyampai protes dengan medium yang berbeda. Ia mengaku lebih suka menyampaikan kegelisahannya lewat lagu karena baginya lagu bisa diputar kembali kapan pun dimana pun oleh pendengarnya ketimbang menyampaikan aspirasi dengan turun ke jalan.
"Waktu itu anak-anak (para personel .Feast) juga capek mau sampai kapan kami turun ke jalan, pakai jaket almamater dan bakar band," tutur Baskara.
Meski liriknya berisikan lagu-lagu yang membawa isu-isu penting, namun Akbar menekankan bahwa sebuah lagu tetap harus dikemas dengan nada yang membuat pendengar bisa menyukai lagu tersebut.
"Yang gue rasain sebenarnya irisannya, sebuah band atau musisi, kalau dia mau protes atau bikin sesuatu yang perlu disuarakan itu harus dikemas," jelas Akbar.
Akbar kemudian menyampaikan bahwa lagu protes tak selamanya harus memaparkan persoalan tersebut dalam lirik secara gamblang. Lagu apapun bila dibawakan di situasi tertentu, baginya, bisa menjadi lagu yang sangat politis.
"Mungkin lagunya bukan lagu protes, tapi kalau nyanyiinnya di lokasi penggusuran, bisa jadi politis juga," ungkapnya.