Belum lama ini, Trinity menyambangi kantor detikHOT di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, untuk berbicara mengenai buku baru 'The Naked Traveler 8'. Apa saja tips dari Trinity?
Pertama, sebagai seorang travel writer sebisa mungkin melakukan jalan-jalan bukan open trip tapi independen. "Sehingga tulisannya nggak garing, kalau open tip nggak ada bedanya cerita kita dengan orang lain," tutur Trinity bersemangat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, travel writer harus memakai semua panca indera. Kelima panca indera harus dipakai dan dirasakan.
Ketiga, jangan terlalu banyak foto atau selfie serta membagikannya di segala penjuru media sosial. "Jangan sampai kita lupa untuk duduk diam, merasakan apa yang terjadi di situ. Wah di atas bukit pemandangannya spektakuler tapi kita malah sibuk foto. Dikurangi aja itu kalau mau jadi penulis," ujar Trinity terkekeh.
Keempat, pemilihan angle tulisan harus menarik. Dia mencontohkan saat mendatangi Singapura yang semua orang rasanya sudah pernah menjelajahi kawasan tersebut. Trinity pun memilih angle yang berbeda.
"Waktu itu saya menulis tentang Geylang yang diibaratkan sebagai red distric di Singapura. Aku merasakan tinggal di hotel kawasan tersebut, sampai ditawar sama om-om. Siapa yang nyangka di Singapura ada bagian seperti itu. Angle jadi bagian yang terpenting juga," pungkasnya.
Selain seri buku perjalanan 'The Naked Traveler', Trinity juga merilis 'Duo Hippo Dinamis: Tersesat di Byzantium' (Bentang Pustaka, Mei 2010), 'The Journeys, Kisah Perjalanan Para Pencerita' (GagasMedia, April 2011), 'TraveLove, Dari Ransel Turun ke Hati' (Bentang Pustaka, Mei 2012) sampai '69 Traveling Gratis' (Bentang Pustaka, Mei 2018).
(tia/ken)