Belanda bersama pedagang dari China, India, sampai belahan negara di Eropa datang berbondong-bondong membeli pala. Berdagang dinilai tak cukup bagi Belanda, mereka melakukan monopoli dan bersengketa dengan bangsa Inggris.
Saat itu, buah pala di Pulau Run menjadi pala terbaik di dunia dan tak tertandingi. Inggris mencoba membangun benteng di Pulau Run, Belanda sudah menguasai Banda Neira dan kawasan lainnya. Sejak 1652-1654 perang pertama dimulai, dilanjutkan pada 1665. Konflik tak berkesudahan tersebut, akhirnya disepakati Perjanjian Breda pada 31 Juli 1967.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isi dari perjanjian adalah Inggris mengakhiri kekuasaan di Pulau Run dan menyerahkan pada Belanda. Sebagai gantinya Nieuw Amsterdam di Amerika Utara (kini Manhattan, New York) diserahkan ke Inggris.
Sejarah panjang Pulau Run dan Manhattan menginspirasi seniman Made Wianta membuat karya seni. Pria kelahiran Tabanan Bali yang hobi traveling kerap melakukan perjalanan ke dua lokasi tersebut. Hasilnya adalah sebuah pameran 'Run for Manhattan' yang juga menjadi retrospektif delapan periode kekaryaan Made Wianta.
![]() |
"Hampir enam kali Bapak ke New York dan mengunjungi Manhattan. Satu kali ke Pulau Run khusus untuk meneliti tentang buah pala. Dua tempat tersebut yang menginspirasi Bapak untuk menciptakan karya seni," tutur Buratwangi, putri pertama Made Wianta dan Intan, ketika berbincang di Ciptadana Center, kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (24/11/2017).
Kali ini, tematik culture detikHOT akan membahas mengenai 'Run for Manhattan'. Bagaimana Pulau Run dan Manhattan mempengaruhi karya-karya Made Wianta serta lukisan-lukisan yang penuh spiritual dan kedalaman karya.
Ada 42 lukisan dan dua patung yang dipajang. Lukisan-lukisan yang menarik dibahas yakni 'Fifth Avenue' (2003), 'The Storm' (2009), 'NYC Town Hall' (2014), dan 'City Lights' (2015). Sedangkan lukisan 'Molluccas Rock' (2012), 'Island Silhouettes' (2012), 'Fort Belgique' (2015) terinspirasi dari Pulau Run.
Simak artikel berikutnya!
(tia/nu2)