Curhat Lagi Soal Pajak Tinggi, Tere Liye Analogikan Penulis dengan 'Tomat'

Menyoal Tingginya Pajak Penulis

Curhat Lagi Soal Pajak Tinggi, Tere Liye Analogikan Penulis dengan 'Tomat'

Tia Agnes - detikHot
Jumat, 08 Sep 2017 15:27 WIB
Curhat Lagi Soal Pajak Tinggi, Tere Liye Analogikan Penulis dengan 'Tomat' (Tere Liye sebelah kiri) Foto: Dok. Pribadi
Jakarta - Usai menelurkan sebuah tulisan panjang yang berjudul 'Selalu Ada Jalan Keluarnya' di fanpage Facebook, Tere Liye kembali bersuara. Lima jam yang lalu, dia mempublikasikan pendapatnya soal tingginya pajak profesi penulis namun dengan premis tomat itu sayuran atau buah.

Di tulisan tersebut, seperti dilihat detikHOT, Jumat (8/9/2017), menerangkan seorang Tere Liye yang diterima masuk di STAN, memilih untuk kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Dengan dalih, janji tidak akan pernah jadi PNS karena takut korupsi.



SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tulisan berlanjut ke analogi tomat. Di tahun 1893 di Amerika Serikat, pengimpor Tomat maju ke pengadilan, mereka menuntut keadilan karena telah diperlakukan tidak adil. Apa pasalnya? Karena berdasarkan Tariff Act 0f 1883, TOMAT itu didefinisikan sebagai buah-buahan, dan bea cukai/pajak juga memperlakukannya sebagai Tomat.

"Kenapa sih importir ini mengotot maju ke pengadilan. Simpel: pajak masuk buah adalah 20% (misalnya), pajak masuk sayuran adalah 10%. Beda banget pajaknya. Maka mereka tak sudi bayar 20%. Wah, saat importir ini ribut, bikin pengumuman di page Facebook-nya: mulai besok kami berhenti impor tomat. Hebohlah satu Amerika. Heboh banget. Banyak yg komen, ini si importir benci sama Jokowi, eh, aduh, ngelantur," tulis Tere Liye, seperti dikutip detikHOT.



Perdebatan mengenai pajak tomat, dianalogikan Tere Liye sama dengan pajak profesi penulis. Menurut Tere Liye, kata kuncinya adalah 'passive income'.

"Royalti penulis itu selalu dipahami passive income--jadi sifatnya netto. Yg kalau sudah nulis sekali, selesai sudah, penulis bisa kaya raya, selama2nya. Sama kayak Tomat yg dipahami sebagai buah, karena memang bentuknya buah," jelasnya lagi.



"Tapi apakah menulis itu begitu? Passive income? Nggak perlu ngapa2in, jadi bukunya, langsung dpt uangnya? Nggak. Siapa bilang jika seseorang punya buku, maka passive income akan mengalir seperti anak sungai? Ayolah, lihat di Indonesia, buku itu usianya paling 6-12 bulandi toko, sekali penulis tersebut berhenti menulis, maka mampet sudah aliran sungainya. Penulis harus terus me-maintain, mengelola, menjaga aliran penghasilan tersebut, dgn terus menulis buku2 berikutnya--agar buku lamanya tetap laku. Dan bicara ttg menulis, itu bukan proses pendek," tulis Tere Liye.

Sampai saat ini, persoalan pajak profesi penulis masih belum ada jalan keluarnya.

Simak artikel berikutnya!

(tia/dal)

Hide Ads