'Warisan' Teater Koma: Antara Korupsi dan Utang Negara

'Warisan' Teater Koma: Antara Korupsi dan Utang Negara

Tia Agnes - detikHot
Jumat, 11 Agu 2017 11:30 WIB
'Warisan' Teater Koma: Antara Korupsi dan Utang Negara Foto: Hanif Hawari/ detikHOT
Jakarta - Teater Koma tak pernah ada habisnya memberikan kejutan. Di usia yang menginjak angka menuju lansia awal, Teater Koma hadir tanpa musik maupun dialog yang dinyanyikan. Semuanya dilafazkan layaknya teater realis lengkap dengan set megah-megahan ala Teater Koma di atas panggung.

Di produksi ke-149, Teater Koma mementaskan naskah baru yang berjudul 'Warisan'. Sama seperti lakon-lakon sebelumnya, pentasnya masih berlangsung selama tiga jam. Ada dua babak yang dimainkan.

Di awal, penghuni panti jompo berkumpul bersama untuk olahraga tai chi. Di bagian belakang hanya berukuran 3 x 4 meter dan mereka nampak berpakaian lusuh. Seorang perempuan masuk ke panggung, menjadi narator.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



"Saya bukan orang kaya tapi juga tidak miskin. Saudara saya bekerja sebagai hakim, pengacara, dan ahli matematika. Ibu saya perempuan biasa-biasa saja. Ayah saya yang tak biasa. Dia dikenal sebagai Kirdjomuldjono atau dikenal Samana Sama. Bukunya ada 9, 6 novel dan lainnya kumcer serta esai. Karyanya terkenal sampai ke Asia dan Eropa Timur," tutur perempuan tersebut.

'Warisan' Teater Koma: Antara Korupsi dan Utang Negara 'Warisan' Teater Koma: Antara Korupsi dan Utang Negara Foto: Hanif Hawari/ detikHOT


Dari mulutnya, narasi berjalan sampai ke tokoh berikutnya. Ada Munan seorang kakek yang duduk di kursi roda, dan saban hari dia menyesali memiliki anak seorang koruptor. Ada Kadirun yang mencari jalan menuju surga dan Yula yang genit kerap mendekatinya. Ada duo Sakiro Subrat yang hilir mudik membicarakan politik dan korupsi mengenai negara dan negeri Hindana Sasa.

Seorang kakek berpakaian badut yang entah apa yang dilakukannya. Perempuan cantik pemilik panti yang memanfaatkan penghuni kaya agar bisnisnya berjalan lancar. Di antara cerita penghuni panti terdapat 'Tembok Besar' seperti 'Tembok Berlin' yang memisahkan kedua penghuni. Di babak kedua, cerita penghuni miskin lebih memiliki porsi.



"Kami hanya bisa meratapi nasib di balik tembok ini. Tembok yang hanya bisa dipandangi, dan tak bisa dirobohkan," ujar salah seorang penghuni miskin.

Kegalauan penulis Samana Sama seakan tak berakhir. Dia ingin merasakan derita agar meraih ilham. "Harus ada derita dan perih agar aku bisa menulis. Sekarang juga! Kamu harus siap-siap untuk menyiksa. Agar saya bisa menulis," ujarnya berkali-kali penuh amarah.

Selama hampir dua jam lamanya, penonton setia kelompok teater yang berdiri 1 Maret 1977 silam mementaskan lakon 'Warisan'. Berbagai isu sosial, politik, sampai pertanyaan warisan bagi anak cucu bangsa dipertanyakan hingga akhir pertunjukan.

"Apa ini betulan warisan kita? Apa betul warisan kita utang dan korupsi?," tanya narator di akhir pentas.

Pertunjukan 'Warisan' masih bisa disaksikan untuk umum hingga 20 Agustus di Gedung Kesenian Jakarta pukul 19.30 WIB kecuali hari Minggu dan libur nasional digelar pukul 13.30 WIB.

(tia/dar)

Hide Ads