Sohn Kee-chung (Ha Jung-woo) adalah seorang pemenang Olimpiade yang dicintai oleh rakyat Korea. Meskipun Kee-chung tidak merasa itu, karena akhir-akhir ini dia lebih menghabiskan waktunya untuk bermabuk-mabukan daripada melakukan sesuatu yang lebih berarti. Tidak seperti kawannya Nam Sung-yong (Bae Seong-woo), juga pemenang Olimpiade, yang menghabiskan waktunya untuk melatih calon pelari baru yang mudah-mudahan bisa mengharumkan nama bangsa seperti mereka dulu.
Sementara itu, ada Sun Yun-bok (Im Si-wan), seorang bocah miskin yang melakukan segala cara untuk bertahan hidup dan mengobati hidupnya. Kalau ia tidak menjadi kuli, Yun-bok menjadi kurir mi yang andal. Meskipun ia sering telat, bosnya tidak bisa memecat Yun-bok karena ia adalah kurir mi paling cepat yang ada. Ia bisa membawa mi yang berat dan mengantarkannya dengan tepat waktu. Meskipun Yun-bok jago berlari, tapi ia sama sekali tidak tertarik menjadi atlet karena berlari tidak memberinya uang. Sampai datanglah tawaran dari Sung-yong.
Pertandingan maraton di Boston akan segera hadir dan Amerika mengundang Korea untuk bertanding. Kenapa undangan ini menjadi big deal? Karena ini adalah kesempatan mereka bertanding menggunakan bendera Korea. Kee-chung dan Sung-yong memang memenangkan Olimpiade waktu itu, tapi saat itu Korea masih di bawah penjajahan Jepang. Tawaran 'balas dendam' ini tentu saja membuat Kee-chung bersemangat lagi. Tapi tentu saja perjalanan membawa bendera Korea ini tidak semudah yang mereka bayangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditulis dan disutradarai oleh Kang Je-gyu, Road To Boston adalah sebuah biopik drama yang sangat emosional, mengaduk-aduk emosi. Seperti janji judulnya, tentu saja pertandingan maraton di Boston akan menjadi momen yang paling ditunggu (saat saya menonton, banyak orang berteriak seru saat adegan tersebut tayang di layar). Tapi sebelum penonton diajak pergi ke sana, Je-gyu mengenalkan drama karakter-karakter utamanya dengan detail agar momen dramatis di klimaks dapat dipanen dengan spektakuler.
Road To Boston memang mempunyai tiga karakter utama, tapi film ini poros utamanya memang di Suh Yun-bok. Ia adalah katalis yang mengubah motivasi hidup Kee-chung. Kalau Sung-yong dari awal langsung digambarkan mendukung Yun-bok, hubungan Kee-chung dan Sung-yong dibuat tarik ulur. Drama hubungan antara Kee-chung dan Yun-bok yang naik turun ini juga membuat ending film ini semakin kuat.
Dalam beberapa bagian, Je-gyu memang terasa sekali mengeksploitasi drama karakter-karakternya untuk membuat penonton terenyuh. Kisah hidup Yun-bok sebagai seorang anak yang melakukan segala cara untuk bisa hidup memang sangat menyentuh, tapi ada beberapa momen yang terasa sekali dimunculkan untuk memancing tangis penonton. Terutama di bagian yang melibatkan ibu Yun-bok.
Sebagai sebuah film olahraga, biopik, dan drama, tentu saja Road To Boston tidak bisa menghindar dari semua klise yang ada. Seperti misalnya kesulitan untuk pergi ke Boston, karena biaya atau drama di momen-momen terakhir yang membuat karakter utamanya memikirkan ulang apakah mereka lanjut atau tidak. Tapi bahkan dengan semua klise itu, Road To Boston tetap menjadi sebuah drama yang menyentuh dan berhasil. Seperti halnya orang Korea, saya ikut tersenyum bahagia menyaksikan perjuangan Kee-chung, Sung-yong, dan tentu saja Yun-bok.
Road To Boston dapat disaksikan di CGV, Cinepolis, Flix dan jaringan bioskop lainnya.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(mau/mau)